My ASI Story

Sebenarnya sudah berbulan-bulan, sejak saya menuliskan postingan ini, saya berhenti memerah. Bahkan dengan jujur saya mengakui bahwa saya sudah memberikan susu sapi kepada Baby Z sejak umur 20 bulan, tentu dengan porsi yang sangat sedikit dan tidak setiap hari.

Awalnya saya berhenti memerah karena stok saya selalu terbuang percuma. Didonorkan pun belum ada yang menerima. Stok saya terbuang karena porsi makanan padat Baby Z alhamdulillaah semakin banyak, ditambah minuman lain yang digemarinya, seperti jus buah, misalnya. Belum lagi susu yang saya singgung di atas.

Ada lagi cerita-cerita lain seputar menyusui yang saya alami sendiri.

Saya masih belum bisa merintis program konseling ASI walau sudah ada peneliti yang mendanai. Malah terpikir untuk mengembalikan dana itu dari tabungan saya, karena begitu rumitnya birokrasi yang harus saya hadapi ditambah rasa malas untuk berpanas-panas di lapang. Padahal, bukankah justru itulah letak kemuliaan profesi konselor bukan?

Kekecewaan, atau lebih tepatnya, bangun dari kenaifan, juga saya alami setelah sempat berbincang dengan teman SMA saya yang mengenal orang-orang dari lembaga nirlaba tertentu. Lembaga ini, yang awalnya menginspirasi saya, konon terlalu condong pada kelas menengah ke atas saja (pantas biaya pelatihannya mahal dan tempat-tempatnya eksklusif).

Saya kecewa. Mungkin seharusnya saya bertatsabbut dan tabayyun dulu dengan informasi itu, bahkan meski saya terlanjur kecewa. Walau jika dipikir lagi, bukankah fenomena semacam itu seharusnya justru memacu saya agar lebih mampu bekerja sosial dengan ikhlas?

Lalu teman saya yang memerah ASI untuk anaknya, yang ditolak oleh anaknya untuk menyusu, akhirnya berhenti total memerah. ASI-nya tak lagi keluar karena kurang rutin diperah. Pasal dari kelalaian ini adalah jadwal kuliah masternya yang padat. Saya tak bisa berbuat banyak, hanya bisa menangis. Marah rasanya saya pada diri sendiri.

Kemudian ada pembicaraan saya yang melelahkan (batin) dengan seorang calon ibu. Dengan segala maaf, bagi saya begitu mudahnya perempuan terdidik yang satu ini menyerah oleh keadaan untuk tidak meng-ASI.

Tak mau menambah ilmu dari bahan sekunder, tak mau bertanya kepada ahli mana pun, ia mengacu dari rekan kerjanya saja yang rata-rata gagal memberi ASI eksklusif walau hanya enam bulan. Dengan sengit ia mengatakan bahwa para ibu yang ‘kurang sibuk’ dan ‘banyak waktu’ telah menghakimi para ibu bekerja itu.

Pertanyaan saya mungkin terdengar sombong dan apatis, tetapi jujurlah. Bahkan menantu presiden pun pasti memiliki masalah, bukan? Siapa ibu di dunia ini yang bebas masalah? Berat tidaknya, banyak tidaknya masalah adalah relatif bagi setiap manusia. Setiap manusia, dalam Islam, diuji sesuai kemampuannya. Artinya, Allaah ‘Azza wa Jalla yakin bahwa manusia tersebut mampu mengatasi masalah.

Maka saya berharap ia tidak menyerah kalah sebelum waktunya, hanya karena takut ‘dihakimi’. Jujurlah. Saya, Anda, siapa pun, pasti telah menghakimi dan dihakimi oleh orang lain. Apakah lantas kita harus marah, menyerah kalah, mengibarkan bendera putih?

Apakah orang yang terlihat ‘tidak sibuk’ dan ‘baik-baik saja’ selalu bebas masalah? Apakah memerah dan menyimpan ASI begitu melelahkan, sedangkan klaim kita adalah ‘melakukan segalanya demi anak’?

Mahalkah membeli perlengkapan menyusui, sedangkan untuk mengganti gadget masih bisa? Lagi pula, bukankah belanja susu formula juga mahal?

Setidaknya (dan ini saya katakan kepada si calon ibu), janganlah kita menyerah sebelum perang. Dunia yang menghakimi kita? Ini hanya sementara. Tujuan akhir kita, setidaknya jika kita muslimah, adalah melihat wajah-Nya Allah. Dan menyusui adalah salah satu perintahnya.

Berupayalah sedikit. Bukankah sudah panjang jalan yang kita tempuh untuk menjadi ibu?

Peristiwa lain adalah saya masih belum bisa menghidupkan grup sharing ASI yang saya bentuk di WhatsApp. Sebenarnya justru di situ saya banyak bertemu ibu-ibu yang bersemangat meng-ASI maupun muslimah muda yang berniat belajar.

Ganjalannya ada pada saya: saya terlalu emosional, simpatik dan bukan empatik, untuk menjadi pendamping rekan (peer counselor), apalagi konselor pro. Saat seorang ibu yang ingin relaktasi bercerita, saya malah membuatnya agak sensitif dengan komentar saya. Alhamdulillaah ia masih tekun mencoba relaktasi melalui pemompaan.

Mungkin si calon ibu yang menyerah itu tahu betapa emosionalnya saya. Mungkin isi ucapannya adalah teguran dari Allah atas kesombongan dan keteledoran saya dalam mendorong ibu-ibu lain meng-ASI.

Saya memang masih mentah. Sungguh. Diri ini masih banyak kekurangan. Mungkin sebaiknya saya perbaiki langkah saya sendiri dari awal pula. Mungkin saya akan mulai memerah kembali.

Tags: ,

Setelah tiga hari didera sakit yang sempat membuat saya merasa sangat tidak nyaman, akhirnya di hari keempat saya mulai ‘berfungsi’ kembali. Demam yang hebat disertai pening, nyeri persendian dan batuk yang menyesakkan mungkin adalah suatu ujian dari Allâh azza wa jalla bagi saya, dan semoga dengan kehendak-Nya dapat menjadi penebusan dosa saya.

Ketika terbaring sakit, rasanya untuk menyusui sambil berbaring pun (yang sebenarnya telah saya lakukan setiap hari sejak Baby Z berusia empat bulan), terasa melelahkan. Sekedar untuk meletakkan PD ke bibirnya yang kehausan pun rasanya melelahkan. Beratnya kedua lengan ini seolah membuat saya merasa mengangkat barbel saat menggerakkan keduanya.

Di tengah situasi seperti itu, tekanan yang saya alami untuk menyapih anak saya masih saya alami. Kalimat-kalimat seperti “Saat seperti inilah yang menyusahkanmu dan orang lain. Sapihlah anakmu!” dan “Andainya anakmu telah disapih, kamu tidak perlu sepayah ini! Ini gara-gara kamu menghentikan susu formulanya dulu!” saya dengar dalam keadaan demam dan menggigil hebat.

Dalam keadaan selemah itu, yang saya katakan hanyalah, “Iya…” karena walaupun otak saya mendidih tidak terima, fisik saya sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi. “Iya apa? Berjanjilah kamu akan menyapih anakmu agar tidak menyusahkan orang lain!”

Saya tidak berjanji. Mungkin Allâh yang menggerakkan hati saya, tapi saya justru menemukan kekuatan untuk membalas ucapan itu.

“Saya akan tetap memerah ASI walaupun seandainya saya harus diopname. Kalau perlu, saya akan membeli pompa ASI lagi,” jawab saya. Sebenarnya saya dulu pernah memiliki dua jenis pompa ASI, namun kenapa keduanya tidak saya gunakan lagi, belum pernah saya bahas di blog ini hehe..

“Tidak masuk akal! Siapa yang kamu tiru? Walaupun anakmu minum susu botol pun dia tidak akan mati! Dia akan tetap hidup dan sehat!” kata suara itu lagi.

“Tapi saya tetap ingin memberinya ASI. Tidakkah keinginan saya juga dihargai walau sedikit saja?”

Perdebatan semacam ini sungguh melelahkan. Sungguh, jika bukan karena daya dan kekuatan dari Allâh selama tiga belas bulan sejak saya berkomitmen memberikan ASI (dua bulan awal saya masih mencampur susu Baby Z dengan sufor), mungkin saya sudah menyerah karena hampir setiap hari mengalami konflik jenis ini.

Tapi saya belum menyerah, walaupun kemarin Baby Z mencicipi minuman M*lo saya, tidak berarti dia akan saya dampingkan dengan minuman itu atau sejenisnya. Tidak.

* * *

Saya tinggalkan narsisisme saya dulu, dan pergi mengunjungi para pejuang ASI lain –selain Dita, yang sebelumnya telah saya sebutkan.

Ibu Anna, sebut saja begitu namanya, adalah tenaga pengajar senior di perguruan tinggi Islam di kota kami. Saya berjumpa dengannya pada Idul Fitri yang lalu. Ketika itu saya berhalangan shalat, sehingga hanya duduk mendengar khutbah sambil menggendong Baby Z.

Tampak bahagia di wajahnya ketika beliau melihat saya menyusui Baby Z. Sesudah Baby Z kenyang, ia menawari anak saya duduk di kursi mungilnya (kursi shalatnya, tepatnya), namun anak saya menolak malu-malu.

“Masih menyusui anaknya ya Dik?” tanya Bu Anna.

“Iya Bu,” jawab saya.

“Sudah berapa lama?”

“Tiga belas bulan, insyâ Allâh menuju empat belas.”

“Cucu saya juga masih menyusu,” ia menunjuk seorang perempuan muda yang menyusui seorang bayi mungil dalam gendongannya. “Yang bayi itu.”

Ia bercerita bagaimana menantunya kurang sabar dalam menyusui cucunya, dan bagaimana ia melarang sang menantu memberi susu formula serta-merta kepada cucunya, sebab, “Di dalam Al Qur’an ada perintah untuk menyusui.”

Tak lama kemudian ia memanggil menantunya, setelah selesai menyusui si bayi yang haus. Ia memperkenalkan saya kepada si menantu secara singkat, dan menyadari bahwa saya menyusui anak saya yang sudah lebih besar dari anaknya, perempuan muda itu tampak agak cemberut.

Mudah-mudahan sekilas wajah cemberut itu hanya perasaan saya saja. Mungkin ia cemberut karena kesal pada mertuanya atau karena cuaca yang kurang nyaman. Mudah-mudahan ia tidak kesal karena berpikir bahwa menyusui itu melelahkan.
Sungguh, dalam hal menyusui, saya ingin bertukar dengannya. Mendapat dukungan seperti itu dari keluarga sendiri, tentulah luar biasa.

Tapi setiap manusia tidaklah diuji melebihi kemampuan masing-masing, bukan? Pasti ada makna di balik ujian yang saya alami dalam upaya saya menyusui Baby Z dengan sempurna.

Setelah bertemu dengan si menantu, saya juga bertemu dengan kolega-kolega Bu Anna di perguruan tinggi. Ternyata beliau memang seorang pendidik sejati–atau setidaknya demikianlah yang saya tangkap dari pembicaraan mereka.

Andai saja semua orang terdidik di Indonesia melek ASI, kebangkitan Islam mungkin dapat segera terwujud. Bayangkan, betapa cemerlang generasi mujahid dan mujahidah kita di masa mendatang…

* * *

Selain Dita dan Bu Anna, saya menjumpai Bu Pinka, seorang pejuang ASI lain di internet. Bu Pinka memiliki anak berkebutuhan khusus–mungkin bisa dibilang sangat khusus. Malangnya, ASI Bu Pinka telah berhenti berproduksi sejak usia anaknya satu bulan, karena si anak diopname di rumah sakit.

Maka Bu Pinka, dengan rekomendasi dokter spesialis anak (yang dari cerita beliau tampaknya sangat pro ASI), mencarikan donor ASI setiap bulannya bagi anaknya yang lemah. Kondisi sang anak sangat tidak ideal dalam mengkonsumsi susu formula, sehingga ASI lagi-lagi menjadi rujukan utama. Maka sang anak, sebut saja Daya, memiliki banyak ibu pesusuan.

Saya sangat ingin menjadi ibu pesusuan Daya. Namun produksi ASI yang sudah menurun, ditambah komitmen memerah yang naik turun, menyebabkan saya tidak bisa memenuhi target saya. Mungkin Allâh memang belum memberikan saya jalan untuk menjadi ibu pesusuan saat ini.

Terakhir kali berkomunikasi dengan Bu Pinka, saya mendapat kabar yang membahagiakan.

“Daya sekarang sudah memiliki ibu pesusuan yang tetap, Mbak. Setiap hari ia mengirimkan hasil perahan ASI-nya untuk Daya, sehingga stok ASI-nya terjamin.”

Semoga amal perempuan mulia itu diterima oleh Allâh, dan semoga kelak Daya bisa sehat dan berbakti kepada para ibundanya, karena sesuai hukum radha’ah, lima kali persusuan yang mengenyangkan membuat sang ibu pesusuan menjadi seperti ibu kandung bagi si bayi, dan saudara pesusuannya pun menjadi mahramnya, sehingga mereka tak dapat menikah kelak.

* * *

Menuliskan kisah Bu Anna dan Bu Pinka membuat saya bersemangat lagi menyusui dan memerah ASI. Mungkinkah memang tulis-menulis adalah hal yang paling bisa membangkitkan mood saya yang mudah berubah? Sepertinya demikian.

Melanjutkan kisah saya tentang para ksatria ASI (dalam istilah yang lebih umum digunakan di komunitas ibu menyusui, mereka yang hebat-hebat ini disebut dengan ‘pejuang ASI ‘), terlebih dahulu saya ingin berbagi galau sedikit. Bukan, lebih tepatnya saya ingin berbagi cerita yang bisa menjadi pembelajaran bagi para ibu atau calon ibu yang lain.

Baru-baru ini (dalam artian, akhir bulan Agustus 2013), Baby Z terdeteksi mengalami kelainan jantung bawaan yang disebut dengan istilah Atrial Septal Defect (ASD). ASD adalah kelainan bilik atas jantung, yaitu terjadinya pemintasan darah dari bilik kiri ke kanan, akibat adanya lubang yang seharusnya tertutup ketika bayi lahir. Pada kasus-kasus ASD, lubang ini tetap terbuka. Walau demikian, Alhamdulillaah, ASD yang dialami Baby Z memiliki tingkatan ringan, yaitu diameter lubangnya hanya antara 4-6 mm, dan diharapkan dapat menutup seiring pertambahan usianya.

Walau begitu, kesedihan yang saya dan suami saya alami cukup traumatis. Ketika dokter spesialis anak (dsa) kami, sebut saja Dr Nusa, mengatakan bahwa Baby Z memerlukan pemotretan thorax (dada) dengan sinar X, kami terpukul. Apalagi ketika ia merujuk Baby Z kepada spesialis jantung anak, sebut saja Dr Rinjani. Tak terbayang oleh kami bahwa kami harus melihat anak kami menjalani pemeriksaan Echochardiography (Echo) dalam keadaan tidur oleh obat tidur. Namun qadarullaah, itulah yang terjadi.

Pelajaran berharga juga kami dapatkan. Dr Rinjani menegur kami yang kerap bergonta-ganti dokter (kebiasaan lama saya dan suami yang belum juga sembuh sejak masa kehamilan). Akibat dari kelalaian kami selama ini, bising jantung Baby Z tidak terdeteksi, dan catatan medisnya pun tidak keruan. Alhamdulillaah, lagi-lagi Allaah masih mengingatkan kami melalui orang-orang yang peduli akan kesehatan Zayd, seperti para dokter ini.

Kelainan ini telah dialami Baby Z sejak masih berada dalam kandungan. Asap rokok, pengawet dalam makanan, stress yang tinggi, konon menjadi pemicu dari kelainan ini.

“Tidak semua dokter teliti mendengar bising jantung,” kata Dokter Rinjani. “Ada yang kurang teliti, terutama jika bisingnya lemah.”

Dalam keadaan kalut, saya makin bingung oleh istilah medis yang asing itu.

Bising jantung? Apa itu? pikir saya. Usut punya usut (dari mesin pencari, tentunya), ternyata bising jantung alias heart murmur adalah suara aliran darah yang ‘memintas’ itu, yang seharusnya tidak ada jika bilik jantung Baby Z tidak berlubang.

“Seharusnya Anda jangan shopping dokter, apalagi dengan alasan jam praktik yang kurang pas bagi Anda, lokasi praktik, dan tidak diantar oleh suami,” kata dokter itu lagi.

Saat itu saya yang pemarah ini tersinggung. Kata-kata sang dokter senior menohok saya. Begitu tidak mandirinyakah saya di mata dokter itu? Apakah karena jilbab saya yang besar ini, sehingga dia menafikan kemandirian saya?

Lalu saya buang prasangka buruk saya terhadap sang dokter jauh-jauh, juga kesombongan saya. Merasa shalihahkah saya selama ini? Merasa sudah hebat? Mungkin ini memang teguran dari Allaah kepada saya, melalui dokter itu; agar saya lebih memperhatikan anak saya dan lebih rendah hati.

“Iya Dok,” ucap saya walau pahit terasa di bibir. “Terima kasih banyak atas perhatian Dokter, alhamdulillaah kami dipertemukan oleh Allaah dengan dokter.”

Apapun, kami mencoba melihat sisi positif dari ujian ini yaitu sebagai jawaban dari doa kami agar Allaah menjadikan kami sabar dan kuat.

* * *

Kembali ke para ksatria ASI. Saya yakin mereka pun telah mengalami berbagai ujian berupa nikmat maupun musibah, tidak hanya dalam hal ASI, walau terutama memang dalam persoalan cairan putih kekuningan yang luar biasa itu.

Salah satu ksatria ASI yang menginspirasi saya adalah ibu yang satu ini.

Sebut saja namanya Dita. Dita adalah teman lama saya, dan qadarullaah kami menikah di tahun yang sama dan anak kami juga sebaya. Bekerja di ibu kota, Dita memutuskan keluar dari pekerjaannya dan membesarkan bayinya yang cantik di kota kami.

Tinggal serumah dengan orangtua, terpisah dari suami, dan mungkin kurangnya informasi turut andil dalam menyulitkan Dita memberikan ASI secara ajeg.

“Suamiku tidak tega mendengar anak kami menangis, jadi kami memberinya susu formula. Kami khawatir dia kelaparan,” kata Dita dalam pesan teksnya kepada saya.

Sejujurnya, saya merasa bahwa peran suami sangat vital dalam komitmen istrinya memberikan ASI. Namun sosialisasi mengenai hal ini memang masih kurang.

Perspektif bahwa ‘urusan mengasuh anak (termasuk memberikan ASI) adalah urusan perempuan’ masih mendominasi pola asuh di keluarga-keluarga kita. Padahal, kalau kita ingat kembali di masa Rasulullaah shallallaahuu ‘alaihi wasallaam, ketika urusan ibu persusuan sangat penting, pastilah pemilihan ibu persusuan melibatkan semua orang dalam keluarga si bayi; tidak melulu ibu si bayi saja. Tidak hanya itu, masalah komitmen ASI juga ada di dalam Al Qur’an, dan jelas disebutkan bahwa kerelaan di antara kedua orangtua mengenai penyusuan dan penyapihan harus ada dalam penentuan batas waktu keduanya. Dari kedua ilustrasi itu, bisa saya simpulkan sendiri dengan keawaman saya bahwa komunikasi yang baik antara kedua orangtua sangat berperan dalam hubungan menyusui yang baik antara seorang ibu dengan bayinya. Jika dirunut dari sosiologi, pergeseran peran keluarga besar di luar orangtua akibat modernisasi, juga berperan dalam berkurangnya dukungan terhadap ibu menyusui. Maka timbullah solusi-solusi praktis namun kurang sehat semacam pemberian susu formula, sebagai simbol modernisasi itu sendiri.

Singkat kata singkat cerita, Dita harus pergi meninggalkan bayinya selama 10 hari untuk menyelesaikan urusan pengunduran dirinya dari kantor. 10 hari berlalu, dan Dita kembali. Mimpi buruknya menjadi kenyataan: anaknya menolak menyusu.

Saya ikut panik dan stress. Sungguh, selama menyusui Baby Z, saya pernah dua kali mengalami ditolak, dan rasa sedihnya belum bisa terlupakan. Bibir kecilnya yang menjauh dari pelukan saya memilukan saya melebihi apapun. Dalam satu episode semacam ini, yang disebut dengan istilah nursing strike atau nipple strike alias mogok menyusu, saya tertekan oleh label ‘ibu sinting’ yang dicapkan oleh keluarga karena saya menolak memberikan susu formula dan memilih menenangkan diri dulu sambil membaringkan Baby Z di tempat tidur. Perasaan tak berdaya dan tak berguna melanda–perasaan yang mungkin akan menenggelamkan saya jika tidak ada support dari AIMI Jawa Timur yang saat itu menjadi acuan saya sepanjang waktu dengan sms-sms saya yang pastilah mengganggu.

Maka dengan berlandaskan ingatan akan episode-episode kelam itu, saya mencoba apapun, semampu saya, supaya bayi Dita kembali mau menyusu. Namun qadarullaah, ia tetap menolak.

“Tetaplah memompa ASImu,” saya berusaha membesarkan hati Dita yang terluka. Alhamdulillaah, Dita memang telah memiliki pompa ASI dan cukup rajin memompa ASI-nya setiap hari sebelum ‘musibah’ itu melandanya. Dibilang musibah, mungkin ada benarnya bagi setiap ibu menyusui mana pun, wallaahu a’lam.

Berbagai jalan telah ditempuh dan anak Dita tetap tidak mau menyusu kembali. Hingga hari ini Dita masih memompakan ASI-nya untuk anaknya. Walau tak bisa memberikan ASI-nya secara total, tiada hari tanpa ASI bagi anaknya. Bahkan, kini Dita telah bisa memerah ASI dengan tangan menggunakan teknik Marmet.

“Rasanya lebih nyaman daripada memompa. Memompa membuatku nyeri,” kata Dita kepada saya.

“Pendapat setiap orang berbeda,” komentar saya.

Memang benar. Saya memiliki dua orang teman yang menyusui dan memompa ASI-nya. Keduanya lebih menyukai pompa dibandingkan perah tangan; yang satu memilih pompa manual, yang lain menjagokan pompa elektrik. Keduanya merasa nyaman dengan pompa-pompa ASI mereka masing-masing. Saya pribadi menganggap mereka hebat, karena saya sudah mencoba tiga jenis pompa berbeda dan belum merasakan kenyamanan yang konon dirasakan oleh para ibu menyusui yang lain (kisah petualangan ketiga pompa ini akan saya paparkan jika saya sempat–dan jika tidak terlupa).

Kegigihan Dita bagi saya luar biasa. Belum tentu saya dapat bertahan menghadapi penolakan menyusu sepertinya dan masih bertahan menjadi ibu yang memompa (pumping mom) maupun memerah. Setiap kali saya bertemu dengannya, saya teringat para ibu pemompa lain yang juga gigih. Memang setiap ibu menyusui memiliki ‘porsi’ ujian masing-masing.

Beragamnya jenis ujian Allaah atas diri ibu menyusui menegaskan kepada saya bahwa setiap ibu adalah individu yang berbeda. Semakin lama saya mencamkan fakta ini, terasa semakin menakjubkan. Allaah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.

(Bersambung…)

“Berjuang lagi”. Itulah kalimat yang sedang berusaha saya tekankan berulang kali kepada diri saya, dan terngiang-ngiang di kepala saya akhir-akhir ini. Betapa tidak, 30 kantong ASIP saya musnah beberapa waktu yang lalu akibat hubungan pendek yang memadamkan kulkas kami dua hari dua malam.

30 kantong itu rata-rata berisi antara 80-100 ml ASI (Alhamdulillaah berkat saran teman saya, sebut saja namanya Anna, saya tidak menyimpan ASIP dalam jumlah di atas 100ml per kantong lagi). Meski tak banyak berarti bagi sebagian ‘mama perah’ yang hasil perah atau pompanya banyak, bagi saya jumlah ASI itu sangat bermakna.

Sebelum kemusnahan itu, saya bertengkar dengan orang yang saya hormati karena beliau membuang ASIP saya begitu saja dari kulkas.

“Apa Anda yang membuang ASIP saya dari kulkas?” tanya saya gemetar. Saya menemukan ASIP yang berjumlah sedikit itu, hanya sekitar 30 ml atau kurang dari itu, telah basi karena dikeluarkan begitu saja.

“Ya,” jawab beliau. “Lalu kenapa? Isinya toh hanya sedikit. Selain itu letaknya bukan di freezer.”

“Karena belum waktunya masuk ke freezer! Walah hasilnya sedikit, saya memerahnya dengan susah payah! Saya memerah malam-malam!“ teriak saya (mungkin seharusnya saya lebih sabar).

“Itu kulkas saya, saya berhak mengeluarkan apa saja yang menurut saya tidak penting.”

Frasa ‘tidak penting’ itu membuat emosi saya kian memuncak.

“Setidaknya, buanglah ASI itu, jangan dibiarkan basi. Ada seorang anak yang membutuhkannya!”

Karena berada di lingkungan yang tidak pro ASI, semua orang di ruangan hanya menatap saya seolah saya gila. Innaa lillaahi wa innaa ilayhi raaji’uun.

Entah saya kualat atau apapun itu namanya, Allaah tetaplah Hakim Yang Maha Adil. Di tengah ketiadaan stok ASIP, pekerjaan yang sangat saya dambakan namun juga menuntut saya untuk berpisah dari Baby Z selama dua bulan, terlepas dari tangan karena kesalahan komunikasi antara saya dan calon pengguna jasa. Sehingga saya tidak perlu panik (setidaknya, tidak terlalu panik) untuk menyetok), sebelum semester baru tiba di tahun ajaran yang tengah berjalan ini. Itu pun jika saya jadi dipekerjakan secara tidak tetap di tempat kerja saya yang lama, salah satu PTN di kota tempat kami tinggal.

Kebutuhan ASIP Baby Z saat ditinggal pun kian berkurang menjadi hanya sekitar 3x selama 8 jam, karena asupan lain telah banyak diterimanya, walau dia masih sulit makan nasi. Mungkin sayalah yang kurang pandai mengkreasikan menu, wallaahu a’lam bish shawab. Yang jelas, butuh kesabaran ekstra agar Baby Z mau makan nasi, dan kesabaran jenis ini biasanya dimiliki oleh kekasih hati saya. Saya masih harus terus belajar. Dibesarkan dengan budaya mau menang sendiri, ternyata Allaah masih mempercayakan seorang anak yang suci kepada saya! Maka artinya saya benar-benar perlu berjuang.

Makna lain dari judul posting ini ada hubungannya dengan status akademis saya. Pada masa-masa sekarang, di saat tesis mangkrak saya akhirnya selesai dengan pas-pasan (maksud saya, kualitas tesis itu pastilah membuat papa saya rahimahullaah kecewa berat seandainya beliau masih hidup), saya merasa bisa mulai menata hidup.

Tak dinyana saya terus berjumpa dengan orang-orang yang memotivasi saya untuk terus memberikan ASI bagi Baby Z tersayang.

Saya akan menceritakan para ksatria perempuan pejuang ASI itu satu per satu. (Bersambung…)

Antara Jakarta-Malang:
Bagian 2: Bagaimana ASI Tiba di Malang

Melanjutkan cerita saya tentang memerah ASI dalam perjalanan balik Jakarta-Malang, saya akan memulai cerita dari rumah adik saya di wilayah Jakarta Selatan. Setelah memerah pada tengah malam sebelumnya, saya menyadari bahwa saya tidak mungkin membawa pulang dua kantong dari lima wadah ASIP saya. Terpaksalah saya meninggalkan dua kantong ASIP berisi masing-masing 100 ml ASIP di dalam freezer adik saya (bagaimana nasib mereka sekarang, saya pasrahkan ke tangan adik saya).

Di perjalanan menuju ke bandara dengan taksi, bertiga dengan adik saya dan suaminya, saya memerah lagi karena PD sudah mulai tidak nyaman. Berbekal hijab panjang (itulah manfaat lain dari hijab syar’i) , saya memerah tanpa kentara dan menambah stok ASIP saya di dalam cooler bag.

Sesampainya di bandara, subhaanallaah ternyata pesawat saya didelay hingga dua jam. Berharap bahwa dua ice packs dan dua ice blue saya cukup mendinginkan tiga wadah berisi ASIP di dalam cooler bag, saya berusaha bersabar menunggu. Ketika masa tunggu delay berakhir (saking mepetnya, kami bahkan tidak boarding dan tidak mendapat boarding pass pula, melainkan langsung diarahkan ke pesawat), saya naik ke kabin pesawat bersama cooler bag.

Lagi-lagi di perjalanan saya memerah ASI, dengan pikiran bahwa PD saya akan terasa lebih ringan dan nyaman setelah dikosongkan. Bertambahlah isi ASIP menjadi empat wadah. Setelah mendarat di Juanda, saya tidak langsung menuju ke Malang, melainkan menuju ke Galaxy Mall Surabaya untuk mampir di toko buku impor, membeli dua buku yang saya pikir adalah kesukaan papa saya, ditambah membeli tablet sterilisasi dingin yang–dari hasil browsing–hanya bisa saya peroleh di toko Mothercare. Toko ini berlokasi di mall yang sama. Rencananya, tablet ini akan saya gunakan untuk mensterilkan botol-botol di tengah jalan dengan air mineral merk A**a, dan isinya saya pindah ke kantong-kantong ASI. Mari kita lihat apakah saya sempat mensterilkan wadah-wadah itu atau tidak.

Setelah mampir di toko buku Peripl*s dan memperoleh tablet steril, saya naik taksi hingga ke Terminal Bungurasih. Mahalnya ongkos sudah jelaslah, tapi karena tidak kebagian jam jemput travel langganan, apa boleh buat laa hawlaa wa laa quwwata illaa billaah, saya menuju Terminal Bungurasih bersama ASIP dan bawaan saya yang segudang (maklum, tidak bisa berkemas dengan rapi).

Sesampainya di Terminal Bungurasih tercinta (kenangan zaman jahiliyyah ketika saya bekerja di kota metropolis yang bernama Surabaya itu), alhamdulillaah saya langsung mendapat bus patas untuk pulang ke Malang. Rencananya, saya akan mulai mensterilkan botol-botol ASIP setelah memindahkan isinya ke kantong-kantong ASI yang sudah saya siapkan. Tetapi begitu saya menaiki bus, tampak jelas bahwa misi mensterilkan botol ASI adalah mustahil, karena sempitnya ruang gerak. Daripada ada resiko ASI tumpah, ya sudahlah saya mengalah mensterilkan botol-botol di rumah mertua nanti di Malang.

Di atas bus, tak disangka PD sudah mulai terasa penuh lagi. Saya berpikir, “Waduh masa harus memerah di sini?” Apalagi orang di bangku sebelah adalah lawan jenis dan bukan mahram. Tapi lalu saya pikir, dengan bergo tebal dan lebar yang saya pakai, plus gamis yang juga lebar dan tebal, InsyaaAllaah saya masih bisa memerah dan dengan demikian tidak melanggar hak anak saya memperoleh ASI yang seharusnya dia minum.

Maka saya pun memerah lagi setelah membersihkan tangan dan PD. Lumayan, satu botol lagi ASI sebanyak kurang lebih 100 ml saya peroleh di atas bus. Saya bersyukur masih bisa memerah ASI di atas bus yang bergoncangan seperti itu. Mungkin karena mindset saya adalah ‘ini traveling yang menyenangkan’, oksitosin jadi berproduksi, sehingga terjadi LDR (Let Down Rate) yang lancar dan meningkatkan hasil perah saya. Jazaakumullaah khayraa buat para muslimah konselor yang sudah mengajari saya ilmu ASI!

Menjelang maghrib, saya tiba di Terminal Arjosari, dan imam sekaligus kekasih hati saya sudah menanti dengan setia. Bersama, kami menuju ke rumah mertua.

Di rumah mertua, dengan deg-degan saya mengeluarkan cooler bag yang berisi ASI. Hasilnya, alhamdulillaah, tidak terlalu buruk. Dua ASI beku sudah leleh total, sehingga keesokan harinya harus diminum langsung oleh Baby Z (yang dia lakukan dengan senang hati), selebihnya masih belum rusak dan bisa langsung masuk ke freezer setelah dipindah dari botol-botol.

Saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mencoba tablet steril yang saya beli di Surabaya. Setelah semua botol saya cuci dengan sabun cuci untuk alat makan bayi (merknya tidak usah yaa…kan gampang dicarinya hehe), mula-mula saya mencampurkan satu tablet dengan air matang dingin sebanyak kurang lebih dua liter. Air itu bisa digunakan selama 24 jam. Setiap perendaman berlangsung lima belas menit, setelah itu semua botol saya bilas dengan air matang hangat.

Bereslah sudah. Alhamdulillaah, walau ada komentar negatif di sekitar saya mengenai ‘keribetan’ saya dan kengototan saya untuk tetap memerah ASI, betapa saya bersyukur atas perjalanan yang menyenangkan itu, dan atas hadirnya suami yang mendukung saya.

Alhamdulillaah. Hari yang tidak saya kira akan datang ini telah saya lalui bersama Baby Z dengan selamat.

Walau 2 bulan pertama saya masih memberikan sufor setiap harinya di antara beberapa kali jadual menyusui.

Walau saya kecolongan karena Baby Z diberi MPASI 2 minggu lebih awal di luar izin saya (dan dengan intervensi saya pun, MPASI diberikan 3 hari lebih awal).

Walau saya gagal mempertahankan prinsip MPASI rumahan 100% apalagi minus gula garam karena kasihan melihat anak yang susah makan.

Walau tadi siang dan dua hari ini saya berdiam diri saja melihat anak saya disuapi kerabat jus tomat yang gulanya bisa merusak liver, karena begitu segannya saya pada kerabat tersebut yang sudah banyak membantu kami (ampuni hambaMu, Yaa Allaah).

Walau saya tidak pandai membuat kreasi MPASI dan jujur sering malas turun ke dapur sehingga MPASI dipanaskan berkali-kali.

Walau saya mudah menyerah saat anak saya menolak makan, sehingga berat badannya tidak sebaik yang seharusnya bisa ia capai.

Walau saya begitu mudah memberinya biskuit, lalu menyesal saat ia menolak rasa lain selain manis biskuit (maafkan Momo, Nak…)

Tapi saya dan Baby Z ada di sini, dan mungkin saya akan bisa lebih berani besok, menolak jus berbahaya yang sama, dan menolak membiarkan anak saya menyantap makanan-makanan awetan bergula banyak.

Mungkin, jika Allaah Yang Maha Berkehendak menghendaki, saya dan Baby Z masih memiliki peluang menuju S3.

Aamiin.

Mbak Adis, saya, Mbak Ajeng

Mbak Adis, saya, Mbak Ajeng

Antara Jakarta dan Malang:
Bagian 1: Menitip ASI Perah (ASIP)

Sedikit menyimpang dari linimasa kisah saya mengASI, saya akan menceritakan pengalaman terbaru saya yang –sejauh ini–paling menarik bagi saya pribadi, setidaknya.

Awalnya adalah lomba resensi yang diadakan oleh Penerbit Mizan, salah satu penerbit buku terkemuka di negeri ini. Buku yang diresensi adalah buku karya Karen Armstrong, Twelve Steps to a Compassionate Life, yang diterjemahkan menjadi Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih. Ms Armstrong ini adalah sejarahwati religi yang menaruh perhatian pada agama-agama samawi (Islam, Kristen/Katolik, dan Judaisme). Tiga pemenang terbaik akan diundang menghadiri gala dinner bersama Ms Armstrong di Jakarta.

Ayah saya yang sedang menjalani kemoterapi mendorong saya untuk mengikuti lomba itu. Maka setelah mengirimkan resensi saya, saya mulai menambah stok ASIP–yang sedianya saya gunakan untuk persiapan menuju acara lain di luar kota–dan membeli cooler bag baru (milik saya yang lama terlalu mencolok) berikut kelengkapannya yaitu ice pack dan botol ASI plastik sebanyak 5 botol.

Sebetulnya saya masih ragu apakah saya bisa memenangkan lomba itu, walaupun saya menggunakan resensi yang dimuat di harian KOMPAS sebagai acuan penulisan resensi saya. Tapi entah kenapa, wallaahu ‘a’lam saya merasa, mungkin Allaah mengabulkan keinginan saya untuk membuat ayah saya bangga.

Ternyata pengumuman pemenangnya cukup mendadak. Saya diumumkan sebagai pemenang. Ayah saya cukup senang mendengar kabar ini, tapi nyaris saja saya membatalkan kehadiran saya. Bayangkan, saya harus sudah tiba di Jakarta pada tanggal 13 Juni 2013 malam, sedangkan saya baru di sms pada tanggal 12 Juni siang.

Alhamdulillaah saya masih memperoleh tiket pesawat dengan harga terjangkau untuk berangkat tanggal 13 Juni pagi dan pulang pada tanggal 14 Juni. Dengan memelas, saya minta pertolongan dari suami, mertua, dan adik-adik saya. Suami membelikan tiket dan menjaga Baby Z, mertua membantu suami menjagakan Baby Z, adik saya yang tinggal di Jaksel menjadi tempat menginap, dan adik saya yang laki-laki meminjamkan uang untuk keadaan darurat (maaf ya Dik…).

Malam hari tanggal 12 Juni, suami mencetakkan peraturan TSA (Transportation Security Administration) yang mengatur mengenai kebolehan membawa ASI di pesawat tanpa batasan jumlah, juga UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan, dan PP No 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif.

Di samping bawaan saya yang sekedarnya, saya mengemas ketiga peraturan itu bersama cooler bag berisi 4 botol ASI plastik (yang 1 lagi tidak muat), 2 ice pack beku, dan 2 ice blue beku. Saya juga sudah membeli kantong ASI bersegel pada saat saya membeli cooler bag itu. Walau biasanya saya menyimpan ASI di dalam plastik es dengan alasan penghematan, saat itu saya bertekad menyimpannya di kantong ASI supaya tulisan ‘breastmilk‘nya bisa dibaca dengan jelas jika cooler bag diperiksa oleh petugas. Semua botol sudah saya sterilkan malam itu dengan cara direbus.

Malam tanggal 12 Juni itu saya meminjam pompa ASI manual milik salah satu sepupu saya, tetapi belum sempat saya mencobanya, hanya saya sterilisasi saja. Pemikiran pinjam pompa itu karena saya dinasehati bahwa memompa itu lebih nyaman jika sedang menghadiri seminar dan sejenisnya, daripada memerah.
Faktanya, bagi saya, tidak demikian. Mungkin karena persiapan yang sangat kurang.

Pagi-pagi tanggal 13 Juni kami bertiga (saya, suami dan Baby Z) berangkat ke rumah mertua membawa semua ‘perlengkapan tempur’, termasuk 2 cooler bag (yang baru dan yang lama–yang terakhir ini tidak saya bawa). Kemudian saya dijemput dengan travel.

Pertama kali saya memerah, adalah di atas travel. Sebenarnya saya ingin memerah nanti siang saja setelah tiba di Jakarta. Lalu PD saya terasa tidak nyaman karena ASI sudah mulai berkumpul. Jadi, awalnya saya membersihkan tangan dan PD lebih dahulu. Kondisi darurat menyebabkan saya hanya membersihkan tangan dengan tissue basah (maafkan saya, Baby Z), padahal biasanya saya menggunakan sabun dan sanitizer. Dengan ditutupi hijab syar’I, kegiatan memompa tidak kentara.

Sayangnya, ternyata pompa itu tidak pas di PD saya sehingga saya berganti memerah ASI dengan teknik Marmet kecintaan saya yang biasa. Tak berapa lama, saya sudah menghasilkan cukup banyak ASI untuk mengakhiri kegiatan memerah pada jam itu.

Tiba di bandara, saya sudah mempersiapkan ketiga cetakan dokumen tadi untuk ditunjukkan di setiap titik pemeriksaan. Tapi alhamdulillaah, mungkin karena bentuk cooler bag saya mirip tas kamera, mereka tidak membukanya sama sekali. Cooler bag saya lolos masuk ke kabin, tanpa hambatan.

Di pesawat, berbekal tissue basah saya membersihkan tangan dan PD di balik hijab, lalu mulai memerah lagi PD saya yang terasa tidak nyaman. Setelah cukup kosong, saya berhenti memerah dan memasukkan botol yang telah terisi ASIP ke dalam cooler bag.

Ibu-ibu di samping saya menanyakan cooler bag saya. Mungkin dia tadi melihat kemunculan ‘tiba-tiba’ botol yang berisi cairan putih kekuningan itu.

“Itu apa sih, Mbak?” tanyanya setelah obrolan basa-basi kami.

“Ini ASI untuk anak saya, Bu,” jawab saya, langsung bersemangat untuk bersosialisASI.

“Oh, bisa dibawa ke mana-mana ya, Mbak?”

“Iya Bu, anak saya kan terpaksa saya tinggal sampai besok, nah dengan ASI ini dan stoknya di rumah, dia bisa tetap minum ASI.”

“Awet berapa lama, mbak?”

Saya pun menjawab, sesuai jawaban admin di twitter @aimi_asi yang saya tanyai, “12-24 jam kalau suhunya stabil, Bu.”

Dan seterusnya, dan seterusnya.

Mungkin saya terlalu banyak bicara, sehingga ibu itu lebih banyak menceritakan kegiatannya berkirim oleh-oleh kepada teman-temannya daripada pengalamannya mengASI. Seharusnya saya lebih banyak belajar.

Kembali membahas ASIP saya. Saya sendiri tidak tahu apakah saya berhasil menjaga kestabilan suhu cooler bag, tapi alhamdulillaah ASIP itu masih awet hingga hari ini di dalam. freezer kami. Mungkin seandainya saya menyimpan botol-botol yang kosong di tempat lain, maka cooler bag akan lebih stabil suhunya karena lebih jarang dibuka setiap kali saya memerah.

Sesampainya di bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, saya menaiki taksi menuju ke gedung tempat gala dinner diadakan, yaitu Wisma Mandiri Thamrin. Sepanjang perjalanan, saya mengontak adik saya yang sedang berada di kantor, meminta izinnya sekali lagi untuk nanti menginap di rumahnya, menitipkan ASIP di kulkasnya, dan mensterilkan ‘peralatan tempur’ ASI saya. Adik saya mengiyakan.

Di Wisma Mandiri, saya menuju ke bagian gedung tempat Bank Syariah Mandiri (BSM) berada. Di lantai satu, masih dengan wajah lelah, saya menghampiri sekuriti dan menyampaikan tujuan kedatangan saya sekaligus permintaan tambahan: menitipkan ASIP. Sebetulnya saya sudah siap berargumen (wah wah…temperamen saya masih perlu meniru kesabaran Nabi Ayyub ‘alayhissalaam), tetapi ternyata saya langsung dirujuk ke lantai 10, 1 lantai dari tempat saya akan menghadiri gala dinner, yaitu di lantai 11.

Di lantai 10, kembali saya menjelaskan tujuan kedatangan saya kepada sekuriti, dan sekaligus menjelaskan bahwa saya akan menitip ASIP. Sekuriti yang ini langsung memberitahu OB yang sedang bertugas, Pak Jalal dan Pak Mahmud. Mereka mempersilakan saya menitipkan ASI di kulkas yang tersedia. (terima kasih banyak ya, Bapak-Bapak…).

Oh iya, di dalam kulkas itu ternyata juga ada ice gel dan sebotol ASIP kaca milik karyawati BSM yang sayangnya tidak sempat saya ajak ngobrol-ngobrol ASI. Maka milik saya dinamai oleh bapak-bapak OB yang baik hati itu supaya tidak tertukar (Jazaakumullaah khoyron katsiir, Bapak-Bapak). Bahkan karena sudah sering menyimpankan ASIP, mereka menawari saya menyimpan di freezer, tapi saya khawatir nanti di jalan malah mencair dan sudah tidak bisa digunakan lagi lepas 24 jam (karena tidak boleh dibekukan lagi), jadi saya menolak dan menyimpan di chiller saja, ice pack nya saja yang masuk ke dalam freezer.

Maka saya bisa menikmati gala dinner (sambil memantau Baby Z di Malang via whatsapp), berbincang super pendek dengan Ms Armstrong (hanya untuk menyapa dan minta tanda tangan), dan memerah lagi setelah PD mulai terasa tidak nyaman lagi.

“Kapan memerahnya, mbak?” tanya salah satu peserta gala dinner, Mbak Adis yang manis (sehat-sehat, mbak?), melihat sebotol ASI muncul dari balik jilbab saya.

“Iya, kalau nggak disusukan kan rasanya nggak nyaman. Bengkak, sakit,” kata Mbak Ajeng (orangnya bijaksana dan sabar kelihatannya ya).

“Saya memerah sudah dari tadi saat kita ngobrol,” jawab saya. Pengalaman memerah ASI di bawah meja saat mengajar tahun 2012 lalu rupanya alhamdulillaah bermanfaat, hanya kali ini perlakuan saya dalam memerah lebih bersih dan saya sudah lebih percaya diri dalam memerah dibandingkan dulu–apalagi, hijab panjang sangat membantu menyembunyikan tangan saya yang sedang ‘berMarmet’.

ASIP kembali saya turunkan ke lantai 10 dengan dimuat di dalam cooler bag, dan saya kembali ke tempat gala dinner.

Pada akhir acara, saya turun ke lantai 10 untuk mengambil ASIP dan mengucapkan terima kasih kepada kedua bapak itu, namun mereka sudah pulang; yang ada hanya beberapa karyawan yang masih bekerja lembur. Saya dan Mbak Tika, reporter MizanMag yang ditugaskan menangani kebawelan para pemenang lomba resensi (jazaakillaahu khoyron katsiir, mbak!) pulang dengan taksi. Berkat panduan Mbak Tika, saya sampai ke rumah adik dengan selamat.

Semua stok ASIP (3 botol berisi sekitar 100 ml) langsung masuk ke kulkas; 2 yang tertua ke dalam freezer, yang muda masuk ke chiller. Ice pack dan ice blue juga saya masukkan ke chiller. Lalu saya memerah lagi dan mendapatkan 200 ml ASI, masing-masing masuk ke botol ASI yang berlainan. ASIP terakhir ini masuk ke chiller pula.

Total hari itu saya mendapatkan ±500 ml ASI, 300ml di antaranya sampai ke Malang dengan selamat (di bagian kedua dari cerita ini). 200 ml masih ada di dalam freezer adik saya karena tidak muat di cooler bag . Yah, wallaahu ‘a’lam nasib kedua kantong itu, terserah adik saya. Agak sedih juga sebenarnya.

Bersambung…

ASIP terakhir sebelum pulang ke Malang

ASIP terakhir sebelum pulang ke Malang

Antara Jakarta-Malang:
Bagian 1: Menitip ASI

Masa Kehamilan Saya (Bagian 2)

Melanjutkan cerita saya tentang awal menyusui yang berliku-liku, sekarang kita akan bersama-sama mengikuti perjalanan saya menjadi calon pasien Bidan ‘Lila’. Hanya untuk mengingatkan saja, Lila tentu saja bukan nama asli bidan senior yang satu ini.

Namun sebelumnya saya mohon maaf, saya melewatkan perjalanan saya bergonta-ganti dokter kandungan. Jadi, sebelum dokter ‘Khaleda’–nama samarannya terdengar anehkah? Saya mengambilnya dari nama salah satu pemimpin negara di Asia Selatan, sebab nama asli dokter ini juga berbau-bau Asia Selatan– di rumah sakit lama saya tinggalkan untuk berpindah ke Bidan ‘Lila’, saya sudah mengunjungi dua dokter kandungan bereputasi kuat.

Dokter kandungan yang pertama, mengelola sebuah fasilitas kesehatan (faskes) yang cukup nyaman. Awalnya saya ingin melahirkan di sana, namun saat itu belum bisa, karena faskes itu baru saja dibuka beberapa bulan sebelumnya–mungkin ada suatu ketentuan dari Kementerian Kesehatan tentang hal ini? Adakah yang tahu mengapa fasilitas kesehatan belum boleh menangani persalinan saat tempat itu baru resmi dibuka? Niat melahirkan di sini saya batalkan dengan alasan keuangan. Sungguh, begitu ketat anggaran kami di saat itu, saat saya berada dalam ketakutan harus menjalani Operasi Caesar atau tidak, dan cemas tak bisa membayar biaya operasi. Pengalaman buruk dari tontonan film-film Holywood yang menyesatkan membuat saya enggan berurusan dengan segala hal yang terkait dengan pembedahan–apalagi atas diri saya. Egois, bukan?

Intinya, faskes si dokter terlampau mahal bagi kocek saya dan suami. Suami saya sempat mengeluhkan bahwa para petugas administrasinya kurang transparan–ketika kami membawa Baby Z untuk diimunisasi di sana, pernah kami dikejutkan oleh biaya tak terduga. Wallaahu a’lam, mungkin kamilah yang kurang siap dengan urusan kocek ini. Waktu itu kami belum tahu-menahu tentang urusan susu-menyusui, walau mungkin jika kami tahu faskes itu kelak setelah berkembang menawarkan IMD (Inisiasi Menyusui Dini), kami akan nekat mencoba menjadi pengguna faskes ini. Kami baru tahu setelah anak kami sudah berusia beberapa bulan, saat ia diimunisasi di sana. Di pintu kaca faskes itu kini telah tertera tulisan-tulisan promosi fasilitas yang didapat oleh ibu dan bayi jika persalinan dilakukan di sana, di antaranya adalah pelaksanaan IMD.

Urungnya niat saya melahirkan di faskes itu, membuat saya mencari dokter kandungan lagi. Saya menerima usulan ibu untuk mengkonsultasikan kehamilan kepada dokter kandungan yang menolong kelahiran saya dulu. Dokter ini laki-laki dan sudah senior (wajarlah, bayi yang ditolongnya saja sudah setua ini umurnya sekarang), dan konon penyabar. Seharusnya memang saya mempertimbangkan urusan mahram dan non mahram dalam hal itu, karena aurat saya dibuka di depan dokter untuk melakukan USG, bukan? Sayangnya saat itu pengetahuan agama saya terlalu dangkal.

Sebelum saya berdosa terlalu banyak karena membuka aurat di depan laki-laki yang bukan siapa-siapa saya, Allaah menakdirkan saya mendapat pelayanan buruk oleh si dokter. Tekanan darah saya tidak diukur, berat badan tidak ditimbang, bahkan saya ditinggalkannya keluar kamar periksa dengan santai. Maka saya membatalkan niat saya untuk memeriksakan kehamilan pada dokter itu.

Dokter ‘Khaleda’ menjadi acuan saya karena reputasinya yang baik, juga karena ia seorang muslimah, dan karena –konon lagi–ia juga penyabar. Ketiga hal itu alhamdulillaah saya temukan darinya ketika bertemu. Saya menyukai terapinya yang tak terlalu menekankan kepada pengobatan medis Barat. Belum pernah ada dokter seperti itu dalam hidup saya yang penuh interaksi dengan dokter dari beragam temperamen.

Lagi-lagi dengan alasan keuangan yang mepet, saya memutuskan pindah dari Dokter Khaleda, khawatir tak mampu membayar lunas biaya rawat inap di rumah sakit mahal tempatnya berpraktik. Waktu itu saya dan suami bertekad tidak akan merepotkan siapa pun; segalanya akan kami tanggung sendiri. Maka secocok apa pun saya dengan dokter itu (bayangkan, inilah orang yang menyemangati saya bahwa “menyusui itu jihad” ! Allaahu Akbar, semoga Allaah merahmati Anda, Dok), saya memutuskan mencari bidan.

Tanya sana-sini, akhirnya dari Twitter saya mendapat info tentang Bidan ‘Lila’. Saya pun langsung bersemangat menghubungi rumah sakit tempatnya berpraktik. Betapa senang hati saya saat mengetahui bahwa ibu bidan senior itu mengajar kelas senam hamil dua kali seminggu.

Pertemuan pertama berlangsung dengan tenang saja, seingat saya. Saya mengungkapkan kepada beliau bahwa saya ingin persalinan saya kelak dibantu oleh beliau. Pada pertemuan kedua atau ketiga di kelas senam hamil Bidan ‘Lila’, saya bertemu dengan teman semasa kuliah S1, sebut saya namanya ‘Rini’.

‘Rini’ ternyata sedang hamil putra keduanya, saya lupa apakah usia kandungannya lebih tua atau lebih muda dari saya, yang jelas kami sama-sama sedang memasuki masa kehamilan trimester ketiga.

Saat saya mengkonfirmasi kepada ‘Rini’ mengenai informasi dari Twitter bahwa Bidan ‘Lila’ pro ASI, ‘Rini’ mengiyakan. Bahkan, katanya, putra pertamanya disusui hingga umurnya dua tahun. Sekarang, anak itu sudah berumur sekitar empat tahun.

Wow! MaasyaAllaah! Ini dia yang saya cari! Begitulah pikir saya.

Sayangnya, tepat pada saat itulah Bidan ‘Lila’ mengatakan sesuatu pada pembukaan kegiatan senam hamil yang membuat saya lumayan shock: “Ibu-ibu, nanti kalau ASI-nya tidak keluar, jangan kaget ya. Mana ada ASI yang langsung keluar, iya nggak? Coba, mana di sini yang pernah melahirkan?”

Dengan patuh, ‘Rini’ mengacungkan tangan.

“ASI Ibu tidak langsung keluar, bukan?”

‘Rini’ mengangguk penuh semangat.

“Nah, betul ‘kan, Ibu-ibu? Makanya jangan anti susu formula, Bu. Dulu pernah ada pasien saya yang mengharamkan susu formula. Jangan seperti itu ya, Bu! Di sini tidak ada yang seperti itu, bukan?”

Walau hati saya tidak sreg dengan kalimat bidan itu, sikap pengecut membuat saya diam saja. Sekarang ini pada saat saya menulis, ingin rasanya saya mengatakan, “Saya tidak setuju!” lalu menegur bidan itu atas sikapnya yang tidak edukatif.

Mungkin saya terdengar sombong. Saya sendiri berpikir mungkinkah, jika saat itu saya menolak, saya telah bersikap sombong? Tapi di tengah konflik batin, saya mencoba berpikir seperti ini: sebagai seorang muslimah, kesadaran akan perintah Allaah dan hak anak saya akan ASI seharusnya membuat saya lebih gigih.

Seorang muslimah seharusnya tidak menyesal berkepanjangan akan masa lalu, namun jika ada yang sangat saya sesali, itu adalah semua waktu konsultasi saya dengan bidan itu. Konsultasi pertama, saya malah menceritakan tekanan mental yang saya alami selama masa kehamilan saya.

Sampai akhirnya di konsultasi kedua atau ketiga, ketika saya datang bersama dengan suami saya (yang sengaja meluangkan waktunya), kami berdebat dengan Bidan ‘Lila’ mengenai ASI.

“Kalau IMD, ibu boleh melakukannya sepuas Ibu. Tapi kalau ASI ibu tidak keluar, lalu bayi ibu kelaparan, dia bisa mengalami ichterus, Bu. Dia bisa kuning. Itu bahaya,” kata si bidan berapi-api.

“Iya, tapi tidak harus diberi susu formula, ‘kan Bu? Bisa menunggu ASI saya keluar, itu saya baca di websitenya AIMI…” kata saya dengan suara lemah.

“Lalu menurut teman-teman AIMI ibu itu apa yang harus kami lakukan jika bayi ibu itu menangis terus-menerus? Nanti mengganggu bayi-bayi lain, Bu.”

“Kalau begitu, saya minta rawat gabung,” saya berkata, suara saya kian lemah. Istilah ‘rawat gabung’ baru saja saya kenal beberapa minggu lamanya, dari hasil pemahaman yang sepotong-sepotong tentang ASI sepembacaan saya dari Internet.

“Bisa Bu, tapi bukan untuk yang kelas seperti Ibu,” kata Bidan ‘Lila’ dengan suatu finalitas di dalam suaranya. Ada isyarat yang jelas dalam kalimat itu: Jika tak mampu membayar lebih, janganlah meminta yang aneh-aneh.

“Kami di sini tidak punya waktu, Bu, untuk mengurusi anak ibu saja. Tenaga kami terbatas.”

Maka begitulah tekad baru saya untuk menyusui bayi saya dilemahkan oleh seorang tenaga kesehatan senior. Seolah suatu hipnotis telah ditanamkan ke dalam alam bawah sadar saya: ASI saya tidak akan langsung keluar. Bayi saya akan kuning. Rawat gabung itu menyusahkan.

Yang tergawat dari serangkaian hipnotis negatif itu adalah: bayi saya akan menangis kelaparan.

Deg! Naluri baru keibuan saya tertusuk. Akankah saya melaparkan bayi saya demi memberikan ASI? Terlupalah saat itu ajaran Islam mengenai ASI. Tak terpikir oleh saya bagaimana Allaah Yang Maha Penyayang tak akan melaparkan bayi saya. Yang ada adalah ketakutan-ketakutan tak berdasar saya bahwa saya tidak akan mampu memberikan ASI.

Sepulang dari tempat praktik Bidan ‘Lila’, saya berdebat dengan suami, kecewa karena dukungannya yang sangat kurang tadi. Suami menyarankan saya segera pindah menggunakan jasa tenaga kesehatan lain, karena ketidaksepahaman semacam yang terjadi antara saya dan Bidan ‘Lila’ akan mengganggu saat persalinan berlangsung.

Entah saya memang lugu, atau malas, atau apa pun namanya itu, saya bertahan menjadi pasien Bidan ‘Lila’. Hingga tibalah pada suatu malam, katup saluran rahim saya lepas, mengeluarkan bercak merah yang menjadi tanda: Baby Z akan lahir ke dunia.

Saya membangunkan ibu, lalu membangunkan suami saya–saat itu saya dan suami masih tinggal di rumah orangtua saya–. Karena barang bawaan saya telah lama dipersiapkan (mengikuti petunjuk dari sebuah buku Islami persiapan kehamilan), sambil mempersiapkan keberangkatan kami ke rumah sakit tempat praktik Bidan ‘Lila’, saya menyucikan diri dan menjalankan sholat. Ayah saya pun ikut berangkat, bersemangat menyaksikan kelahiran cucu pertamanya.

Tak lupa saya menghubungi Bidan ‘Lila’. Ia meminta saya pergi ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan dulu.

Masa Kehamilan Saya (Bagian 1)

Saya mungkin termasuk kelompok ibu hamil yang paling keras kepala dan paling sok tahu di dunia fana ini. Boleh jadi inilah penyebab kekuranglancaran saya dalam menyusui. Benarlah yang dikatakan oleh AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) dalam video sosialisasi menyusui terbaru mereka, “Benar Awalnya, Lancar Menyusuinya” , awal yang keliru menyebabkan perjalanan menyusui saya kurang lancar.

Selama masa kehamilan, terutama memasuki akhir trimester kedua dan selanjutnya menuju ke trimester ketiga, saya sangat memfokuskan diri pada upaya untuk melahirkan secara normal. Setelah melalui trimester pertama hingga pertengahan trimesis kedua yang penuh emesis, akhirnya saya bisa mulai menikmati kehamilan.

Kondisi kehamilan saya yang penuh tekanan psikologis–termasuk tekanan dari lingkungan untuk mengaborsi janin yang saya kandung–, tidak menghalangi saya untuk menjalani kehamilan dengan penuh semangat. Saat itu sempat saya katakan kepada diri saya sendiri, bahwa saya akan bisa melahirkan anak ini (Baby Z) dengan selamat, dan membesarkannya dengan sehat.

Maka saya pun sibuk mengikuti kelas-kelas senam hamil (di dua rumah sakit sekaligus!), mengunduh video yoga kehamilan, tai chi kehamilan, afirmasi positif, bahkan hypnobirthing. Saya juga membaca (dan mengunduh) buku-buku persiapan kelahiran.

Bahkan saya masih sempat melakukan penelitian lapang saat usia kandungan saya sudah sangat tua. Penelitian itu adalah bagian dari tesis master saya yang masih mangkrak hingga sekarang (korban dari kegagalan saya menemukan tekad untuk menulis). Intinya, saya masih sempat berjalan memasuki perkampungan dan melakukan wawancara ini-itu dengan informan. Naik-turun angkot pun saya jalani dengan riang gembira.

Dari semua persiapan dan kesibukan itu, tidak banyak terpikir oleh saya tentang ASI. Mari saya ralat kata-kata saya: bukan “tidak banyak”, melainkan “tidak pernah”. Saya pikir, menyusui itu cukup duduk dan memasukkan payudara ke mulut bayi yang menganga, lalu bereslah sudah.

Saya baru menyadari bahwa menyusui itu sulit (Ya! Bukan bermaksud menakut-nakuti, tetapi memotivasi: Menyusui itu sulit! Butuh ilmu, saudari-saudariku! Maka belajarlah!), ketika saya mengikuti kelas prenatal laktasi di rumah sakit yang–rencananya–menjadi tempat saya melahirkan Baby Z. Beragam pikiran pesimistis berlarian di benak saya saat mendengarkan penjelasan konselor laktasi rumah sakit itu. Subhaanallaah, masa iya saya perlu memerah ASI? Memangnya saya sapi perah? Perlukah saya memompa ASI? Ada ya, yang namanya pompa ASI? Apa saya harus mencari ibu pesusuan saja? Memangnya ini zaman Nabi? Susu kaleng saja kenapa sih?

Nah, pikiran yang terakhir itu adalah hasil dari rekaman ingatan saya selama dibesarkan. Tanpa bermaksud menyakiti hati siapa pun, saya akan berterus terang di sini bahwa keluarga besar saya adalah pendukung susu formula. Tidak, jangan salah paham. Tidak satu pun dari kami bekerja di pabrik susu formula. Yang saya maksud dengan istilah ‘pendukung’ adalah mereka meyakini sepenuhnya modernitas susu formula berikut sepaket keunggulannya sebagaimana yang ada dalam iklan-iklan, ditambah keyakinan mereka sendiri, misalnya seperti yang satu ini: “susu formula membuat kulit anak menjadi lebih putih”. Salahkan Cleopatra yang mandi susu.

Saya sendiri adalah anak susu formula. Tidak pernah saya ketahui dengan jelas, berapa lama saya disusui oleh ibu saya, tetapi dari narasi beliau, saya perkirakan saya disusui kurang dari 6 bulan. Sebelum itu pun saya telah disuplementasi dengan susu formula. Hingga hari ini saya masih mengidap alergi ikan laut berat, ditambah sederetan alergi lainnya yang berasal dari kekebalan tubuh yang kurang.

Kembali ke cerita masa kehamilan saya. Kekurangsiapan saya mengenai ASI menyebabkan saya baru menyadari bahwa ada sebagian ibu hamil yang pada trimester ketiga telah mendapati cairan bening kolostrum keluar dari payudara mereka. Saya langsung panik ketika mendengar bahwa anak PRT ibu saya, yang usia kehamilannya hanya terpaut beberapa minggu dari saya–sebut saja nama ibu hamil itu Tina–telah mendapati kolostrum di payudaranya.

“Tina sudah keluar cairan beningnya lho, mbak,” kata si PRT suatu hari.

“Cairan bening apa ya?” tanya saya bingung.

“Yang dari payudara. Biasanya keluar saat mandi.”

“Saya tidak, tuh.”

“Oh,” kata si PRT, mungkin kehabisan respon.

Saya langsung berpikir, Wah ASI saya seret. ASI saya sedikit. Tanpa sadar saya menanamkan pikiran seperti itu ke dalam diri saya sendiri, yang wallaahu ‘a’lam mungkin malah menghambat laktogenesis (proses pembentukan air susu) di tubuh saya. Satu pikiran negatif lainnya adalah, ASI saya tidak keluar.

Di tengah keadaan tertekan oleh masalah kolostrum, masalah dengan studi saya, dan beberapa masalah pribadi lain, saya akhirnya mulai mempelajari ASI dan seluk-beluknya. Akun Twitter yang semula hanya saya gunakan untuk bercanda atau bergosip tentang budaya pop, mulai saya gunakan untuk berkonsultasi tentang kehamilan dan ASI.

Betapa kagetnya saya ketika mengetahui manfaat ASI begitu besar. Dari Internet, saya mengetahui bahwa sekarang di seluruh dunia telah terjadi kebangkitan kembali gerakan menyusui, dan penelitian mengenai ASI pun telah dilakukan di berbagai institusi bergengsi di seluruh dunia. Mulai dari mencegah obesitas (sayangnya berdasarkan penelitian terbaru, fakta ini telah dibantah), mencegah timbulnya kanker, mencegah timbulnya alergi, menaikkan poin IQ, hingga meningkatkan kekebalan, semua ada pada ASI.

Menyusui pun ternyata memiliki manfaat besar. Mempererat bonding (jalinan emosi) ibu dan anak, merangsang pertumbuhan gigi dan rahang anak, adalah dua di antara deretan manfaat menyusui.

Dari video rekaman kelas prenatal laktasi yang saya ikuti, saya mulai mempelajari penanganan ASI hingga posisi-posisi menyusui. Dengan pongahnya saya yakin pasti bisa melakukan semuanya dengan mudah.

Kepongahan ini juga berujung pada keterlambatan menemukan tenaga kesehatan yang pro ASI untuk mendampingi kelahiran. Boro-boro mencari konselor laktasi, keinginan untuk melakukan penghematan menyebabkan saya dan suami memiliki wacana untuk ‘pindah haluan’ rumah sakit.

Pindah rumah sakit adalah rencana baru kami, karena setelah melahirkan saya akan tinggal bersama dengan ibu mertua. Berangkat dari rencana ini, saya dan suami memutuskan akan melahirkan di rumah sakit yang lokasinya dekat dengan rumah ibu mertua. Kami pun ‘kabur’ dari dokter kandungan dan konselor laktasi rumah sakit yang dulu, dan mulai berkonsultasi kepada bidan di rumah sakit yang baru.

Ibu bidan ini, sebut saja namanya Bidan Lila, adalah seorang bidan senior. Dia sering mendampingi dokter kandungan saya dalam proses-proses kelahiran, atau setidaknya demikianlah pengakuannya.

Karena saya mendapat rekomendasi bidan ini dari seorang muslimah berhijab via Twitter (bahwa bidan Lila ini pro ASI) , saya langsung percaya mentah-mentah.

Bidan Lila sendiri adalah seorang muslimah berhijab, maka fakta ini langsung membuat saya yakin, pastilah dia benar-benar pro ASI. Bukankah menyusui hingga dua tahun dalam persusuan sempurna itu perintah Allaah dalam Al Qur’anul Kariim? Walau saat itu saya tak tahu-menahu detil hukum fiqh pesusuan (kecuali tentang adanya ibu susu)–sampai kini pun saya masih belajar, jangan salah paham–yang saya tahu adalah betapa mulianya seorang ibu menyusui di mata Tuhan saya.

Maka saya pun mulai mengikuti kelas senam hamil Bidan Lila di rumah sakit baru.

Bersambung…

Suatu saat, seseorang yang saya hormati dan pernah saya idolakan berkata, ” Kamu tidak memiliki identitas. Kamu berbeda dengan orang lain yang seusia denganmu dan sudah memiliki banyak hal. Yang kamu miliki hanyalah anakmu. Kamu belum menghasilkan karya nyata apa pun.”

Kata-kata itu menghujam begitu dalam ke hati saya. Begitu sakitnya perasaan saya waktu itu, hingga saat ini pun, pada detik ini, saat mengingat semua itu kembali untuk tulisan ini, saya merasa sakit hati lagi.

Jika saya menelusuri kembali perjalanan hidup saya, memang saya belum banyak memunculkan suatu karya yang bisa dibaca oleh–setidaknya–anak saya sendiri di masa mendatang. Karya nyata yang sesuai definisi pribadi saya adalah sesuatu karya yang menyebabkan anak saya kelak mungkin, dengan izin Allaah Ta’ala, akan membaca tulisan-tulisan saya dan berpikir, “Oh, inilah tulisan ibu saya dulu.” Saya berharap kelanjutan dari pikiran anak saya itu bukanlah, “Betapa naifnya tulisan beliau.”

Maka saya membuat blog “My ASI Story” ini. Kekacauan gramatikal di dalam judul blog ini sungguh adalah kesengajaan saya. Maksud saya, saya tahu bahwa seharusnya nama blog ini, agar konsisten dengan penggunaan Bahasa Inggris, adalah “My Breastmilk Story”, tapi nama itu terlalu panjang, menurut saya pribadi. Di sisi lain, saya kurang menyukai nama “Cerita ASI”. Maafkan pola pikir kebarat-baratan yang masih melekati otak saya, tetapi memang demikianlah alasan saya memilih nama My ASI Story.

Singkatnya, inilah blog tentang perjalanan saya memberi ASI kepada anak saya, yang saya sebut saja Baby Z ( baca: bebi zi ). Memang sedikit terlambat, karena saat ini sudah hampir satu tahun saya menyusuinya, tetapi karena pada masa ini saya dan Baby Z menjelang memasuki milestone kedua perjalanan ASI (setahun pertama), saya pikir tidak ada salahnya kembali menceritakan apa saja yang sudah kami alami selama ber-ASI.

Apalagi, kami sebentar lagi akan memasuki suatu periode yang membuat saya cemas. Bayang-bayang akan kemungkinan ketidakcukupan stok ASI perah saya, disertai dengan kemungkinan harus berpisah dari Baby Z selama dua bulan penuh, cukup mengkhawatirkan bagi saya. Jika seandainya saya terpaksa menyapihnya atau mendampingkan asupan cairnya dengan suplementasi formula, maka setidaknya apa yang saya tulis ini akan menjadi penyemangat saya. Bahwa saya, yang katanya belum menghasilkan karya nyata, pernah menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi anak saya. Bahwa saya mungkin dengan izin Allaah bisa menyemangati ibu-ibu lain untuk memberi ASI dan mempelajari ASI. Karena sesungguhnya tidak ada ciptaan Allaah yang sia-sia.

Recent Comments