My ASI Story

Posts Tagged ‘cerita ASI

“Berjuang lagi”. Itulah kalimat yang sedang berusaha saya tekankan berulang kali kepada diri saya, dan terngiang-ngiang di kepala saya akhir-akhir ini. Betapa tidak, 30 kantong ASIP saya musnah beberapa waktu yang lalu akibat hubungan pendek yang memadamkan kulkas kami dua hari dua malam.

30 kantong itu rata-rata berisi antara 80-100 ml ASI (Alhamdulillaah berkat saran teman saya, sebut saja namanya Anna, saya tidak menyimpan ASIP dalam jumlah di atas 100ml per kantong lagi). Meski tak banyak berarti bagi sebagian ‘mama perah’ yang hasil perah atau pompanya banyak, bagi saya jumlah ASI itu sangat bermakna.

Sebelum kemusnahan itu, saya bertengkar dengan orang yang saya hormati karena beliau membuang ASIP saya begitu saja dari kulkas.

“Apa Anda yang membuang ASIP saya dari kulkas?” tanya saya gemetar. Saya menemukan ASIP yang berjumlah sedikit itu, hanya sekitar 30 ml atau kurang dari itu, telah basi karena dikeluarkan begitu saja.

“Ya,” jawab beliau. “Lalu kenapa? Isinya toh hanya sedikit. Selain itu letaknya bukan di freezer.”

“Karena belum waktunya masuk ke freezer! Walah hasilnya sedikit, saya memerahnya dengan susah payah! Saya memerah malam-malam!“ teriak saya (mungkin seharusnya saya lebih sabar).

“Itu kulkas saya, saya berhak mengeluarkan apa saja yang menurut saya tidak penting.”

Frasa ‘tidak penting’ itu membuat emosi saya kian memuncak.

“Setidaknya, buanglah ASI itu, jangan dibiarkan basi. Ada seorang anak yang membutuhkannya!”

Karena berada di lingkungan yang tidak pro ASI, semua orang di ruangan hanya menatap saya seolah saya gila. Innaa lillaahi wa innaa ilayhi raaji’uun.

Entah saya kualat atau apapun itu namanya, Allaah tetaplah Hakim Yang Maha Adil. Di tengah ketiadaan stok ASIP, pekerjaan yang sangat saya dambakan namun juga menuntut saya untuk berpisah dari Baby Z selama dua bulan, terlepas dari tangan karena kesalahan komunikasi antara saya dan calon pengguna jasa. Sehingga saya tidak perlu panik (setidaknya, tidak terlalu panik) untuk menyetok), sebelum semester baru tiba di tahun ajaran yang tengah berjalan ini. Itu pun jika saya jadi dipekerjakan secara tidak tetap di tempat kerja saya yang lama, salah satu PTN di kota tempat kami tinggal.

Kebutuhan ASIP Baby Z saat ditinggal pun kian berkurang menjadi hanya sekitar 3x selama 8 jam, karena asupan lain telah banyak diterimanya, walau dia masih sulit makan nasi. Mungkin sayalah yang kurang pandai mengkreasikan menu, wallaahu a’lam bish shawab. Yang jelas, butuh kesabaran ekstra agar Baby Z mau makan nasi, dan kesabaran jenis ini biasanya dimiliki oleh kekasih hati saya. Saya masih harus terus belajar. Dibesarkan dengan budaya mau menang sendiri, ternyata Allaah masih mempercayakan seorang anak yang suci kepada saya! Maka artinya saya benar-benar perlu berjuang.

Makna lain dari judul posting ini ada hubungannya dengan status akademis saya. Pada masa-masa sekarang, di saat tesis mangkrak saya akhirnya selesai dengan pas-pasan (maksud saya, kualitas tesis itu pastilah membuat papa saya rahimahullaah kecewa berat seandainya beliau masih hidup), saya merasa bisa mulai menata hidup.

Tak dinyana saya terus berjumpa dengan orang-orang yang memotivasi saya untuk terus memberikan ASI bagi Baby Z tersayang.

Saya akan menceritakan para ksatria perempuan pejuang ASI itu satu per satu. (Bersambung…)

Masa Kehamilan Saya (Bagian 2)

Melanjutkan cerita saya tentang awal menyusui yang berliku-liku, sekarang kita akan bersama-sama mengikuti perjalanan saya menjadi calon pasien Bidan ‘Lila’. Hanya untuk mengingatkan saja, Lila tentu saja bukan nama asli bidan senior yang satu ini.

Namun sebelumnya saya mohon maaf, saya melewatkan perjalanan saya bergonta-ganti dokter kandungan. Jadi, sebelum dokter ‘Khaleda’–nama samarannya terdengar anehkah? Saya mengambilnya dari nama salah satu pemimpin negara di Asia Selatan, sebab nama asli dokter ini juga berbau-bau Asia Selatan– di rumah sakit lama saya tinggalkan untuk berpindah ke Bidan ‘Lila’, saya sudah mengunjungi dua dokter kandungan bereputasi kuat.

Dokter kandungan yang pertama, mengelola sebuah fasilitas kesehatan (faskes) yang cukup nyaman. Awalnya saya ingin melahirkan di sana, namun saat itu belum bisa, karena faskes itu baru saja dibuka beberapa bulan sebelumnya–mungkin ada suatu ketentuan dari Kementerian Kesehatan tentang hal ini? Adakah yang tahu mengapa fasilitas kesehatan belum boleh menangani persalinan saat tempat itu baru resmi dibuka? Niat melahirkan di sini saya batalkan dengan alasan keuangan. Sungguh, begitu ketat anggaran kami di saat itu, saat saya berada dalam ketakutan harus menjalani Operasi Caesar atau tidak, dan cemas tak bisa membayar biaya operasi. Pengalaman buruk dari tontonan film-film Holywood yang menyesatkan membuat saya enggan berurusan dengan segala hal yang terkait dengan pembedahan–apalagi atas diri saya. Egois, bukan?

Intinya, faskes si dokter terlampau mahal bagi kocek saya dan suami. Suami saya sempat mengeluhkan bahwa para petugas administrasinya kurang transparan–ketika kami membawa Baby Z untuk diimunisasi di sana, pernah kami dikejutkan oleh biaya tak terduga. Wallaahu a’lam, mungkin kamilah yang kurang siap dengan urusan kocek ini. Waktu itu kami belum tahu-menahu tentang urusan susu-menyusui, walau mungkin jika kami tahu faskes itu kelak setelah berkembang menawarkan IMD (Inisiasi Menyusui Dini), kami akan nekat mencoba menjadi pengguna faskes ini. Kami baru tahu setelah anak kami sudah berusia beberapa bulan, saat ia diimunisasi di sana. Di pintu kaca faskes itu kini telah tertera tulisan-tulisan promosi fasilitas yang didapat oleh ibu dan bayi jika persalinan dilakukan di sana, di antaranya adalah pelaksanaan IMD.

Urungnya niat saya melahirkan di faskes itu, membuat saya mencari dokter kandungan lagi. Saya menerima usulan ibu untuk mengkonsultasikan kehamilan kepada dokter kandungan yang menolong kelahiran saya dulu. Dokter ini laki-laki dan sudah senior (wajarlah, bayi yang ditolongnya saja sudah setua ini umurnya sekarang), dan konon penyabar. Seharusnya memang saya mempertimbangkan urusan mahram dan non mahram dalam hal itu, karena aurat saya dibuka di depan dokter untuk melakukan USG, bukan? Sayangnya saat itu pengetahuan agama saya terlalu dangkal.

Sebelum saya berdosa terlalu banyak karena membuka aurat di depan laki-laki yang bukan siapa-siapa saya, Allaah menakdirkan saya mendapat pelayanan buruk oleh si dokter. Tekanan darah saya tidak diukur, berat badan tidak ditimbang, bahkan saya ditinggalkannya keluar kamar periksa dengan santai. Maka saya membatalkan niat saya untuk memeriksakan kehamilan pada dokter itu.

Dokter ‘Khaleda’ menjadi acuan saya karena reputasinya yang baik, juga karena ia seorang muslimah, dan karena –konon lagi–ia juga penyabar. Ketiga hal itu alhamdulillaah saya temukan darinya ketika bertemu. Saya menyukai terapinya yang tak terlalu menekankan kepada pengobatan medis Barat. Belum pernah ada dokter seperti itu dalam hidup saya yang penuh interaksi dengan dokter dari beragam temperamen.

Lagi-lagi dengan alasan keuangan yang mepet, saya memutuskan pindah dari Dokter Khaleda, khawatir tak mampu membayar lunas biaya rawat inap di rumah sakit mahal tempatnya berpraktik. Waktu itu saya dan suami bertekad tidak akan merepotkan siapa pun; segalanya akan kami tanggung sendiri. Maka secocok apa pun saya dengan dokter itu (bayangkan, inilah orang yang menyemangati saya bahwa “menyusui itu jihad” ! Allaahu Akbar, semoga Allaah merahmati Anda, Dok), saya memutuskan mencari bidan.

Tanya sana-sini, akhirnya dari Twitter saya mendapat info tentang Bidan ‘Lila’. Saya pun langsung bersemangat menghubungi rumah sakit tempatnya berpraktik. Betapa senang hati saya saat mengetahui bahwa ibu bidan senior itu mengajar kelas senam hamil dua kali seminggu.

Pertemuan pertama berlangsung dengan tenang saja, seingat saya. Saya mengungkapkan kepada beliau bahwa saya ingin persalinan saya kelak dibantu oleh beliau. Pada pertemuan kedua atau ketiga di kelas senam hamil Bidan ‘Lila’, saya bertemu dengan teman semasa kuliah S1, sebut saya namanya ‘Rini’.

‘Rini’ ternyata sedang hamil putra keduanya, saya lupa apakah usia kandungannya lebih tua atau lebih muda dari saya, yang jelas kami sama-sama sedang memasuki masa kehamilan trimester ketiga.

Saat saya mengkonfirmasi kepada ‘Rini’ mengenai informasi dari Twitter bahwa Bidan ‘Lila’ pro ASI, ‘Rini’ mengiyakan. Bahkan, katanya, putra pertamanya disusui hingga umurnya dua tahun. Sekarang, anak itu sudah berumur sekitar empat tahun.

Wow! MaasyaAllaah! Ini dia yang saya cari! Begitulah pikir saya.

Sayangnya, tepat pada saat itulah Bidan ‘Lila’ mengatakan sesuatu pada pembukaan kegiatan senam hamil yang membuat saya lumayan shock: “Ibu-ibu, nanti kalau ASI-nya tidak keluar, jangan kaget ya. Mana ada ASI yang langsung keluar, iya nggak? Coba, mana di sini yang pernah melahirkan?”

Dengan patuh, ‘Rini’ mengacungkan tangan.

“ASI Ibu tidak langsung keluar, bukan?”

‘Rini’ mengangguk penuh semangat.

“Nah, betul ‘kan, Ibu-ibu? Makanya jangan anti susu formula, Bu. Dulu pernah ada pasien saya yang mengharamkan susu formula. Jangan seperti itu ya, Bu! Di sini tidak ada yang seperti itu, bukan?”

Walau hati saya tidak sreg dengan kalimat bidan itu, sikap pengecut membuat saya diam saja. Sekarang ini pada saat saya menulis, ingin rasanya saya mengatakan, “Saya tidak setuju!” lalu menegur bidan itu atas sikapnya yang tidak edukatif.

Mungkin saya terdengar sombong. Saya sendiri berpikir mungkinkah, jika saat itu saya menolak, saya telah bersikap sombong? Tapi di tengah konflik batin, saya mencoba berpikir seperti ini: sebagai seorang muslimah, kesadaran akan perintah Allaah dan hak anak saya akan ASI seharusnya membuat saya lebih gigih.

Seorang muslimah seharusnya tidak menyesal berkepanjangan akan masa lalu, namun jika ada yang sangat saya sesali, itu adalah semua waktu konsultasi saya dengan bidan itu. Konsultasi pertama, saya malah menceritakan tekanan mental yang saya alami selama masa kehamilan saya.

Sampai akhirnya di konsultasi kedua atau ketiga, ketika saya datang bersama dengan suami saya (yang sengaja meluangkan waktunya), kami berdebat dengan Bidan ‘Lila’ mengenai ASI.

“Kalau IMD, ibu boleh melakukannya sepuas Ibu. Tapi kalau ASI ibu tidak keluar, lalu bayi ibu kelaparan, dia bisa mengalami ichterus, Bu. Dia bisa kuning. Itu bahaya,” kata si bidan berapi-api.

“Iya, tapi tidak harus diberi susu formula, ‘kan Bu? Bisa menunggu ASI saya keluar, itu saya baca di websitenya AIMI…” kata saya dengan suara lemah.

“Lalu menurut teman-teman AIMI ibu itu apa yang harus kami lakukan jika bayi ibu itu menangis terus-menerus? Nanti mengganggu bayi-bayi lain, Bu.”

“Kalau begitu, saya minta rawat gabung,” saya berkata, suara saya kian lemah. Istilah ‘rawat gabung’ baru saja saya kenal beberapa minggu lamanya, dari hasil pemahaman yang sepotong-sepotong tentang ASI sepembacaan saya dari Internet.

“Bisa Bu, tapi bukan untuk yang kelas seperti Ibu,” kata Bidan ‘Lila’ dengan suatu finalitas di dalam suaranya. Ada isyarat yang jelas dalam kalimat itu: Jika tak mampu membayar lebih, janganlah meminta yang aneh-aneh.

“Kami di sini tidak punya waktu, Bu, untuk mengurusi anak ibu saja. Tenaga kami terbatas.”

Maka begitulah tekad baru saya untuk menyusui bayi saya dilemahkan oleh seorang tenaga kesehatan senior. Seolah suatu hipnotis telah ditanamkan ke dalam alam bawah sadar saya: ASI saya tidak akan langsung keluar. Bayi saya akan kuning. Rawat gabung itu menyusahkan.

Yang tergawat dari serangkaian hipnotis negatif itu adalah: bayi saya akan menangis kelaparan.

Deg! Naluri baru keibuan saya tertusuk. Akankah saya melaparkan bayi saya demi memberikan ASI? Terlupalah saat itu ajaran Islam mengenai ASI. Tak terpikir oleh saya bagaimana Allaah Yang Maha Penyayang tak akan melaparkan bayi saya. Yang ada adalah ketakutan-ketakutan tak berdasar saya bahwa saya tidak akan mampu memberikan ASI.

Sepulang dari tempat praktik Bidan ‘Lila’, saya berdebat dengan suami, kecewa karena dukungannya yang sangat kurang tadi. Suami menyarankan saya segera pindah menggunakan jasa tenaga kesehatan lain, karena ketidaksepahaman semacam yang terjadi antara saya dan Bidan ‘Lila’ akan mengganggu saat persalinan berlangsung.

Entah saya memang lugu, atau malas, atau apa pun namanya itu, saya bertahan menjadi pasien Bidan ‘Lila’. Hingga tibalah pada suatu malam, katup saluran rahim saya lepas, mengeluarkan bercak merah yang menjadi tanda: Baby Z akan lahir ke dunia.

Saya membangunkan ibu, lalu membangunkan suami saya–saat itu saya dan suami masih tinggal di rumah orangtua saya–. Karena barang bawaan saya telah lama dipersiapkan (mengikuti petunjuk dari sebuah buku Islami persiapan kehamilan), sambil mempersiapkan keberangkatan kami ke rumah sakit tempat praktik Bidan ‘Lila’, saya menyucikan diri dan menjalankan sholat. Ayah saya pun ikut berangkat, bersemangat menyaksikan kelahiran cucu pertamanya.

Tak lupa saya menghubungi Bidan ‘Lila’. Ia meminta saya pergi ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan dulu.


Recent Comments