My ASI Story

Posts Tagged ‘rumah sakit

Masa Kehamilan Saya (Bagian 1)

Saya mungkin termasuk kelompok ibu hamil yang paling keras kepala dan paling sok tahu di dunia fana ini. Boleh jadi inilah penyebab kekuranglancaran saya dalam menyusui. Benarlah yang dikatakan oleh AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) dalam video sosialisasi menyusui terbaru mereka, “Benar Awalnya, Lancar Menyusuinya” , awal yang keliru menyebabkan perjalanan menyusui saya kurang lancar.

Selama masa kehamilan, terutama memasuki akhir trimester kedua dan selanjutnya menuju ke trimester ketiga, saya sangat memfokuskan diri pada upaya untuk melahirkan secara normal. Setelah melalui trimester pertama hingga pertengahan trimesis kedua yang penuh emesis, akhirnya saya bisa mulai menikmati kehamilan.

Kondisi kehamilan saya yang penuh tekanan psikologis–termasuk tekanan dari lingkungan untuk mengaborsi janin yang saya kandung–, tidak menghalangi saya untuk menjalani kehamilan dengan penuh semangat. Saat itu sempat saya katakan kepada diri saya sendiri, bahwa saya akan bisa melahirkan anak ini (Baby Z) dengan selamat, dan membesarkannya dengan sehat.

Maka saya pun sibuk mengikuti kelas-kelas senam hamil (di dua rumah sakit sekaligus!), mengunduh video yoga kehamilan, tai chi kehamilan, afirmasi positif, bahkan hypnobirthing. Saya juga membaca (dan mengunduh) buku-buku persiapan kelahiran.

Bahkan saya masih sempat melakukan penelitian lapang saat usia kandungan saya sudah sangat tua. Penelitian itu adalah bagian dari tesis master saya yang masih mangkrak hingga sekarang (korban dari kegagalan saya menemukan tekad untuk menulis). Intinya, saya masih sempat berjalan memasuki perkampungan dan melakukan wawancara ini-itu dengan informan. Naik-turun angkot pun saya jalani dengan riang gembira.

Dari semua persiapan dan kesibukan itu, tidak banyak terpikir oleh saya tentang ASI. Mari saya ralat kata-kata saya: bukan “tidak banyak”, melainkan “tidak pernah”. Saya pikir, menyusui itu cukup duduk dan memasukkan payudara ke mulut bayi yang menganga, lalu bereslah sudah.

Saya baru menyadari bahwa menyusui itu sulit (Ya! Bukan bermaksud menakut-nakuti, tetapi memotivasi: Menyusui itu sulit! Butuh ilmu, saudari-saudariku! Maka belajarlah!), ketika saya mengikuti kelas prenatal laktasi di rumah sakit yang–rencananya–menjadi tempat saya melahirkan Baby Z. Beragam pikiran pesimistis berlarian di benak saya saat mendengarkan penjelasan konselor laktasi rumah sakit itu. Subhaanallaah, masa iya saya perlu memerah ASI? Memangnya saya sapi perah? Perlukah saya memompa ASI? Ada ya, yang namanya pompa ASI? Apa saya harus mencari ibu pesusuan saja? Memangnya ini zaman Nabi? Susu kaleng saja kenapa sih?

Nah, pikiran yang terakhir itu adalah hasil dari rekaman ingatan saya selama dibesarkan. Tanpa bermaksud menyakiti hati siapa pun, saya akan berterus terang di sini bahwa keluarga besar saya adalah pendukung susu formula. Tidak, jangan salah paham. Tidak satu pun dari kami bekerja di pabrik susu formula. Yang saya maksud dengan istilah ‘pendukung’ adalah mereka meyakini sepenuhnya modernitas susu formula berikut sepaket keunggulannya sebagaimana yang ada dalam iklan-iklan, ditambah keyakinan mereka sendiri, misalnya seperti yang satu ini: “susu formula membuat kulit anak menjadi lebih putih”. Salahkan Cleopatra yang mandi susu.

Saya sendiri adalah anak susu formula. Tidak pernah saya ketahui dengan jelas, berapa lama saya disusui oleh ibu saya, tetapi dari narasi beliau, saya perkirakan saya disusui kurang dari 6 bulan. Sebelum itu pun saya telah disuplementasi dengan susu formula. Hingga hari ini saya masih mengidap alergi ikan laut berat, ditambah sederetan alergi lainnya yang berasal dari kekebalan tubuh yang kurang.

Kembali ke cerita masa kehamilan saya. Kekurangsiapan saya mengenai ASI menyebabkan saya baru menyadari bahwa ada sebagian ibu hamil yang pada trimester ketiga telah mendapati cairan bening kolostrum keluar dari payudara mereka. Saya langsung panik ketika mendengar bahwa anak PRT ibu saya, yang usia kehamilannya hanya terpaut beberapa minggu dari saya–sebut saja nama ibu hamil itu Tina–telah mendapati kolostrum di payudaranya.

“Tina sudah keluar cairan beningnya lho, mbak,” kata si PRT suatu hari.

“Cairan bening apa ya?” tanya saya bingung.

“Yang dari payudara. Biasanya keluar saat mandi.”

“Saya tidak, tuh.”

“Oh,” kata si PRT, mungkin kehabisan respon.

Saya langsung berpikir, Wah ASI saya seret. ASI saya sedikit. Tanpa sadar saya menanamkan pikiran seperti itu ke dalam diri saya sendiri, yang wallaahu ‘a’lam mungkin malah menghambat laktogenesis (proses pembentukan air susu) di tubuh saya. Satu pikiran negatif lainnya adalah, ASI saya tidak keluar.

Di tengah keadaan tertekan oleh masalah kolostrum, masalah dengan studi saya, dan beberapa masalah pribadi lain, saya akhirnya mulai mempelajari ASI dan seluk-beluknya. Akun Twitter yang semula hanya saya gunakan untuk bercanda atau bergosip tentang budaya pop, mulai saya gunakan untuk berkonsultasi tentang kehamilan dan ASI.

Betapa kagetnya saya ketika mengetahui manfaat ASI begitu besar. Dari Internet, saya mengetahui bahwa sekarang di seluruh dunia telah terjadi kebangkitan kembali gerakan menyusui, dan penelitian mengenai ASI pun telah dilakukan di berbagai institusi bergengsi di seluruh dunia. Mulai dari mencegah obesitas (sayangnya berdasarkan penelitian terbaru, fakta ini telah dibantah), mencegah timbulnya kanker, mencegah timbulnya alergi, menaikkan poin IQ, hingga meningkatkan kekebalan, semua ada pada ASI.

Menyusui pun ternyata memiliki manfaat besar. Mempererat bonding (jalinan emosi) ibu dan anak, merangsang pertumbuhan gigi dan rahang anak, adalah dua di antara deretan manfaat menyusui.

Dari video rekaman kelas prenatal laktasi yang saya ikuti, saya mulai mempelajari penanganan ASI hingga posisi-posisi menyusui. Dengan pongahnya saya yakin pasti bisa melakukan semuanya dengan mudah.

Kepongahan ini juga berujung pada keterlambatan menemukan tenaga kesehatan yang pro ASI untuk mendampingi kelahiran. Boro-boro mencari konselor laktasi, keinginan untuk melakukan penghematan menyebabkan saya dan suami memiliki wacana untuk ‘pindah haluan’ rumah sakit.

Pindah rumah sakit adalah rencana baru kami, karena setelah melahirkan saya akan tinggal bersama dengan ibu mertua. Berangkat dari rencana ini, saya dan suami memutuskan akan melahirkan di rumah sakit yang lokasinya dekat dengan rumah ibu mertua. Kami pun ‘kabur’ dari dokter kandungan dan konselor laktasi rumah sakit yang dulu, dan mulai berkonsultasi kepada bidan di rumah sakit yang baru.

Ibu bidan ini, sebut saja namanya Bidan Lila, adalah seorang bidan senior. Dia sering mendampingi dokter kandungan saya dalam proses-proses kelahiran, atau setidaknya demikianlah pengakuannya.

Karena saya mendapat rekomendasi bidan ini dari seorang muslimah berhijab via Twitter (bahwa bidan Lila ini pro ASI) , saya langsung percaya mentah-mentah.

Bidan Lila sendiri adalah seorang muslimah berhijab, maka fakta ini langsung membuat saya yakin, pastilah dia benar-benar pro ASI. Bukankah menyusui hingga dua tahun dalam persusuan sempurna itu perintah Allaah dalam Al Qur’anul Kariim? Walau saat itu saya tak tahu-menahu detil hukum fiqh pesusuan (kecuali tentang adanya ibu susu)–sampai kini pun saya masih belajar, jangan salah paham–yang saya tahu adalah betapa mulianya seorang ibu menyusui di mata Tuhan saya.

Maka saya pun mulai mengikuti kelas senam hamil Bidan Lila di rumah sakit baru.

Bersambung…


Recent Comments