My ASI Story

Posts Tagged ‘jakarta

Mbak Adis, saya, Mbak Ajeng

Mbak Adis, saya, Mbak Ajeng

Antara Jakarta dan Malang:
Bagian 1: Menitip ASI Perah (ASIP)

Sedikit menyimpang dari linimasa kisah saya mengASI, saya akan menceritakan pengalaman terbaru saya yang –sejauh ini–paling menarik bagi saya pribadi, setidaknya.

Awalnya adalah lomba resensi yang diadakan oleh Penerbit Mizan, salah satu penerbit buku terkemuka di negeri ini. Buku yang diresensi adalah buku karya Karen Armstrong, Twelve Steps to a Compassionate Life, yang diterjemahkan menjadi Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih. Ms Armstrong ini adalah sejarahwati religi yang menaruh perhatian pada agama-agama samawi (Islam, Kristen/Katolik, dan Judaisme). Tiga pemenang terbaik akan diundang menghadiri gala dinner bersama Ms Armstrong di Jakarta.

Ayah saya yang sedang menjalani kemoterapi mendorong saya untuk mengikuti lomba itu. Maka setelah mengirimkan resensi saya, saya mulai menambah stok ASIP–yang sedianya saya gunakan untuk persiapan menuju acara lain di luar kota–dan membeli cooler bag baru (milik saya yang lama terlalu mencolok) berikut kelengkapannya yaitu ice pack dan botol ASI plastik sebanyak 5 botol.

Sebetulnya saya masih ragu apakah saya bisa memenangkan lomba itu, walaupun saya menggunakan resensi yang dimuat di harian KOMPAS sebagai acuan penulisan resensi saya. Tapi entah kenapa, wallaahu ‘a’lam saya merasa, mungkin Allaah mengabulkan keinginan saya untuk membuat ayah saya bangga.

Ternyata pengumuman pemenangnya cukup mendadak. Saya diumumkan sebagai pemenang. Ayah saya cukup senang mendengar kabar ini, tapi nyaris saja saya membatalkan kehadiran saya. Bayangkan, saya harus sudah tiba di Jakarta pada tanggal 13 Juni 2013 malam, sedangkan saya baru di sms pada tanggal 12 Juni siang.

Alhamdulillaah saya masih memperoleh tiket pesawat dengan harga terjangkau untuk berangkat tanggal 13 Juni pagi dan pulang pada tanggal 14 Juni. Dengan memelas, saya minta pertolongan dari suami, mertua, dan adik-adik saya. Suami membelikan tiket dan menjaga Baby Z, mertua membantu suami menjagakan Baby Z, adik saya yang tinggal di Jaksel menjadi tempat menginap, dan adik saya yang laki-laki meminjamkan uang untuk keadaan darurat (maaf ya Dik…).

Malam hari tanggal 12 Juni, suami mencetakkan peraturan TSA (Transportation Security Administration) yang mengatur mengenai kebolehan membawa ASI di pesawat tanpa batasan jumlah, juga UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan, dan PP No 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif.

Di samping bawaan saya yang sekedarnya, saya mengemas ketiga peraturan itu bersama cooler bag berisi 4 botol ASI plastik (yang 1 lagi tidak muat), 2 ice pack beku, dan 2 ice blue beku. Saya juga sudah membeli kantong ASI bersegel pada saat saya membeli cooler bag itu. Walau biasanya saya menyimpan ASI di dalam plastik es dengan alasan penghematan, saat itu saya bertekad menyimpannya di kantong ASI supaya tulisan ‘breastmilk‘nya bisa dibaca dengan jelas jika cooler bag diperiksa oleh petugas. Semua botol sudah saya sterilkan malam itu dengan cara direbus.

Malam tanggal 12 Juni itu saya meminjam pompa ASI manual milik salah satu sepupu saya, tetapi belum sempat saya mencobanya, hanya saya sterilisasi saja. Pemikiran pinjam pompa itu karena saya dinasehati bahwa memompa itu lebih nyaman jika sedang menghadiri seminar dan sejenisnya, daripada memerah.
Faktanya, bagi saya, tidak demikian. Mungkin karena persiapan yang sangat kurang.

Pagi-pagi tanggal 13 Juni kami bertiga (saya, suami dan Baby Z) berangkat ke rumah mertua membawa semua ‘perlengkapan tempur’, termasuk 2 cooler bag (yang baru dan yang lama–yang terakhir ini tidak saya bawa). Kemudian saya dijemput dengan travel.

Pertama kali saya memerah, adalah di atas travel. Sebenarnya saya ingin memerah nanti siang saja setelah tiba di Jakarta. Lalu PD saya terasa tidak nyaman karena ASI sudah mulai berkumpul. Jadi, awalnya saya membersihkan tangan dan PD lebih dahulu. Kondisi darurat menyebabkan saya hanya membersihkan tangan dengan tissue basah (maafkan saya, Baby Z), padahal biasanya saya menggunakan sabun dan sanitizer. Dengan ditutupi hijab syar’I, kegiatan memompa tidak kentara.

Sayangnya, ternyata pompa itu tidak pas di PD saya sehingga saya berganti memerah ASI dengan teknik Marmet kecintaan saya yang biasa. Tak berapa lama, saya sudah menghasilkan cukup banyak ASI untuk mengakhiri kegiatan memerah pada jam itu.

Tiba di bandara, saya sudah mempersiapkan ketiga cetakan dokumen tadi untuk ditunjukkan di setiap titik pemeriksaan. Tapi alhamdulillaah, mungkin karena bentuk cooler bag saya mirip tas kamera, mereka tidak membukanya sama sekali. Cooler bag saya lolos masuk ke kabin, tanpa hambatan.

Di pesawat, berbekal tissue basah saya membersihkan tangan dan PD di balik hijab, lalu mulai memerah lagi PD saya yang terasa tidak nyaman. Setelah cukup kosong, saya berhenti memerah dan memasukkan botol yang telah terisi ASIP ke dalam cooler bag.

Ibu-ibu di samping saya menanyakan cooler bag saya. Mungkin dia tadi melihat kemunculan ‘tiba-tiba’ botol yang berisi cairan putih kekuningan itu.

“Itu apa sih, Mbak?” tanyanya setelah obrolan basa-basi kami.

“Ini ASI untuk anak saya, Bu,” jawab saya, langsung bersemangat untuk bersosialisASI.

“Oh, bisa dibawa ke mana-mana ya, Mbak?”

“Iya Bu, anak saya kan terpaksa saya tinggal sampai besok, nah dengan ASI ini dan stoknya di rumah, dia bisa tetap minum ASI.”

“Awet berapa lama, mbak?”

Saya pun menjawab, sesuai jawaban admin di twitter @aimi_asi yang saya tanyai, “12-24 jam kalau suhunya stabil, Bu.”

Dan seterusnya, dan seterusnya.

Mungkin saya terlalu banyak bicara, sehingga ibu itu lebih banyak menceritakan kegiatannya berkirim oleh-oleh kepada teman-temannya daripada pengalamannya mengASI. Seharusnya saya lebih banyak belajar.

Kembali membahas ASIP saya. Saya sendiri tidak tahu apakah saya berhasil menjaga kestabilan suhu cooler bag, tapi alhamdulillaah ASIP itu masih awet hingga hari ini di dalam. freezer kami. Mungkin seandainya saya menyimpan botol-botol yang kosong di tempat lain, maka cooler bag akan lebih stabil suhunya karena lebih jarang dibuka setiap kali saya memerah.

Sesampainya di bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, saya menaiki taksi menuju ke gedung tempat gala dinner diadakan, yaitu Wisma Mandiri Thamrin. Sepanjang perjalanan, saya mengontak adik saya yang sedang berada di kantor, meminta izinnya sekali lagi untuk nanti menginap di rumahnya, menitipkan ASIP di kulkasnya, dan mensterilkan ‘peralatan tempur’ ASI saya. Adik saya mengiyakan.

Di Wisma Mandiri, saya menuju ke bagian gedung tempat Bank Syariah Mandiri (BSM) berada. Di lantai satu, masih dengan wajah lelah, saya menghampiri sekuriti dan menyampaikan tujuan kedatangan saya sekaligus permintaan tambahan: menitipkan ASIP. Sebetulnya saya sudah siap berargumen (wah wah…temperamen saya masih perlu meniru kesabaran Nabi Ayyub ‘alayhissalaam), tetapi ternyata saya langsung dirujuk ke lantai 10, 1 lantai dari tempat saya akan menghadiri gala dinner, yaitu di lantai 11.

Di lantai 10, kembali saya menjelaskan tujuan kedatangan saya kepada sekuriti, dan sekaligus menjelaskan bahwa saya akan menitip ASIP. Sekuriti yang ini langsung memberitahu OB yang sedang bertugas, Pak Jalal dan Pak Mahmud. Mereka mempersilakan saya menitipkan ASI di kulkas yang tersedia. (terima kasih banyak ya, Bapak-Bapak…).

Oh iya, di dalam kulkas itu ternyata juga ada ice gel dan sebotol ASIP kaca milik karyawati BSM yang sayangnya tidak sempat saya ajak ngobrol-ngobrol ASI. Maka milik saya dinamai oleh bapak-bapak OB yang baik hati itu supaya tidak tertukar (Jazaakumullaah khoyron katsiir, Bapak-Bapak). Bahkan karena sudah sering menyimpankan ASIP, mereka menawari saya menyimpan di freezer, tapi saya khawatir nanti di jalan malah mencair dan sudah tidak bisa digunakan lagi lepas 24 jam (karena tidak boleh dibekukan lagi), jadi saya menolak dan menyimpan di chiller saja, ice pack nya saja yang masuk ke dalam freezer.

Maka saya bisa menikmati gala dinner (sambil memantau Baby Z di Malang via whatsapp), berbincang super pendek dengan Ms Armstrong (hanya untuk menyapa dan minta tanda tangan), dan memerah lagi setelah PD mulai terasa tidak nyaman lagi.

“Kapan memerahnya, mbak?” tanya salah satu peserta gala dinner, Mbak Adis yang manis (sehat-sehat, mbak?), melihat sebotol ASI muncul dari balik jilbab saya.

“Iya, kalau nggak disusukan kan rasanya nggak nyaman. Bengkak, sakit,” kata Mbak Ajeng (orangnya bijaksana dan sabar kelihatannya ya).

“Saya memerah sudah dari tadi saat kita ngobrol,” jawab saya. Pengalaman memerah ASI di bawah meja saat mengajar tahun 2012 lalu rupanya alhamdulillaah bermanfaat, hanya kali ini perlakuan saya dalam memerah lebih bersih dan saya sudah lebih percaya diri dalam memerah dibandingkan dulu–apalagi, hijab panjang sangat membantu menyembunyikan tangan saya yang sedang ‘berMarmet’.

ASIP kembali saya turunkan ke lantai 10 dengan dimuat di dalam cooler bag, dan saya kembali ke tempat gala dinner.

Pada akhir acara, saya turun ke lantai 10 untuk mengambil ASIP dan mengucapkan terima kasih kepada kedua bapak itu, namun mereka sudah pulang; yang ada hanya beberapa karyawan yang masih bekerja lembur. Saya dan Mbak Tika, reporter MizanMag yang ditugaskan menangani kebawelan para pemenang lomba resensi (jazaakillaahu khoyron katsiir, mbak!) pulang dengan taksi. Berkat panduan Mbak Tika, saya sampai ke rumah adik dengan selamat.

Semua stok ASIP (3 botol berisi sekitar 100 ml) langsung masuk ke kulkas; 2 yang tertua ke dalam freezer, yang muda masuk ke chiller. Ice pack dan ice blue juga saya masukkan ke chiller. Lalu saya memerah lagi dan mendapatkan 200 ml ASI, masing-masing masuk ke botol ASI yang berlainan. ASIP terakhir ini masuk ke chiller pula.

Total hari itu saya mendapatkan ±500 ml ASI, 300ml di antaranya sampai ke Malang dengan selamat (di bagian kedua dari cerita ini). 200 ml masih ada di dalam freezer adik saya karena tidak muat di cooler bag . Yah, wallaahu ‘a’lam nasib kedua kantong itu, terserah adik saya. Agak sedih juga sebenarnya.

Bersambung…

ASIP terakhir sebelum pulang ke Malang

ASIP terakhir sebelum pulang ke Malang

Antara Jakarta-Malang:
Bagian 1: Menitip ASI


Recent Comments