My ASI Story

Posts Tagged ‘ASIP

Sebenarnya sudah berbulan-bulan, sejak saya menuliskan postingan ini, saya berhenti memerah. Bahkan dengan jujur saya mengakui bahwa saya sudah memberikan susu sapi kepada Baby Z sejak umur 20 bulan, tentu dengan porsi yang sangat sedikit dan tidak setiap hari.

Awalnya saya berhenti memerah karena stok saya selalu terbuang percuma. Didonorkan pun belum ada yang menerima. Stok saya terbuang karena porsi makanan padat Baby Z alhamdulillaah semakin banyak, ditambah minuman lain yang digemarinya, seperti jus buah, misalnya. Belum lagi susu yang saya singgung di atas.

Ada lagi cerita-cerita lain seputar menyusui yang saya alami sendiri.

Saya masih belum bisa merintis program konseling ASI walau sudah ada peneliti yang mendanai. Malah terpikir untuk mengembalikan dana itu dari tabungan saya, karena begitu rumitnya birokrasi yang harus saya hadapi ditambah rasa malas untuk berpanas-panas di lapang. Padahal, bukankah justru itulah letak kemuliaan profesi konselor bukan?

Kekecewaan, atau lebih tepatnya, bangun dari kenaifan, juga saya alami setelah sempat berbincang dengan teman SMA saya yang mengenal orang-orang dari lembaga nirlaba tertentu. Lembaga ini, yang awalnya menginspirasi saya, konon terlalu condong pada kelas menengah ke atas saja (pantas biaya pelatihannya mahal dan tempat-tempatnya eksklusif).

Saya kecewa. Mungkin seharusnya saya bertatsabbut dan tabayyun dulu dengan informasi itu, bahkan meski saya terlanjur kecewa. Walau jika dipikir lagi, bukankah fenomena semacam itu seharusnya justru memacu saya agar lebih mampu bekerja sosial dengan ikhlas?

Lalu teman saya yang memerah ASI untuk anaknya, yang ditolak oleh anaknya untuk menyusu, akhirnya berhenti total memerah. ASI-nya tak lagi keluar karena kurang rutin diperah. Pasal dari kelalaian ini adalah jadwal kuliah masternya yang padat. Saya tak bisa berbuat banyak, hanya bisa menangis. Marah rasanya saya pada diri sendiri.

Kemudian ada pembicaraan saya yang melelahkan (batin) dengan seorang calon ibu. Dengan segala maaf, bagi saya begitu mudahnya perempuan terdidik yang satu ini menyerah oleh keadaan untuk tidak meng-ASI.

Tak mau menambah ilmu dari bahan sekunder, tak mau bertanya kepada ahli mana pun, ia mengacu dari rekan kerjanya saja yang rata-rata gagal memberi ASI eksklusif walau hanya enam bulan. Dengan sengit ia mengatakan bahwa para ibu yang ‘kurang sibuk’ dan ‘banyak waktu’ telah menghakimi para ibu bekerja itu.

Pertanyaan saya mungkin terdengar sombong dan apatis, tetapi jujurlah. Bahkan menantu presiden pun pasti memiliki masalah, bukan? Siapa ibu di dunia ini yang bebas masalah? Berat tidaknya, banyak tidaknya masalah adalah relatif bagi setiap manusia. Setiap manusia, dalam Islam, diuji sesuai kemampuannya. Artinya, Allaah ‘Azza wa Jalla yakin bahwa manusia tersebut mampu mengatasi masalah.

Maka saya berharap ia tidak menyerah kalah sebelum waktunya, hanya karena takut ‘dihakimi’. Jujurlah. Saya, Anda, siapa pun, pasti telah menghakimi dan dihakimi oleh orang lain. Apakah lantas kita harus marah, menyerah kalah, mengibarkan bendera putih?

Apakah orang yang terlihat ‘tidak sibuk’ dan ‘baik-baik saja’ selalu bebas masalah? Apakah memerah dan menyimpan ASI begitu melelahkan, sedangkan klaim kita adalah ‘melakukan segalanya demi anak’?

Mahalkah membeli perlengkapan menyusui, sedangkan untuk mengganti gadget masih bisa? Lagi pula, bukankah belanja susu formula juga mahal?

Setidaknya (dan ini saya katakan kepada si calon ibu), janganlah kita menyerah sebelum perang. Dunia yang menghakimi kita? Ini hanya sementara. Tujuan akhir kita, setidaknya jika kita muslimah, adalah melihat wajah-Nya Allah. Dan menyusui adalah salah satu perintahnya.

Berupayalah sedikit. Bukankah sudah panjang jalan yang kita tempuh untuk menjadi ibu?

Peristiwa lain adalah saya masih belum bisa menghidupkan grup sharing ASI yang saya bentuk di WhatsApp. Sebenarnya justru di situ saya banyak bertemu ibu-ibu yang bersemangat meng-ASI maupun muslimah muda yang berniat belajar.

Ganjalannya ada pada saya: saya terlalu emosional, simpatik dan bukan empatik, untuk menjadi pendamping rekan (peer counselor), apalagi konselor pro. Saat seorang ibu yang ingin relaktasi bercerita, saya malah membuatnya agak sensitif dengan komentar saya. Alhamdulillaah ia masih tekun mencoba relaktasi melalui pemompaan.

Mungkin si calon ibu yang menyerah itu tahu betapa emosionalnya saya. Mungkin isi ucapannya adalah teguran dari Allah atas kesombongan dan keteledoran saya dalam mendorong ibu-ibu lain meng-ASI.

Saya memang masih mentah. Sungguh. Diri ini masih banyak kekurangan. Mungkin sebaiknya saya perbaiki langkah saya sendiri dari awal pula. Mungkin saya akan mulai memerah kembali.

Tags: ,

Setelah tiga hari didera sakit yang sempat membuat saya merasa sangat tidak nyaman, akhirnya di hari keempat saya mulai ‘berfungsi’ kembali. Demam yang hebat disertai pening, nyeri persendian dan batuk yang menyesakkan mungkin adalah suatu ujian dari Allâh azza wa jalla bagi saya, dan semoga dengan kehendak-Nya dapat menjadi penebusan dosa saya.

Ketika terbaring sakit, rasanya untuk menyusui sambil berbaring pun (yang sebenarnya telah saya lakukan setiap hari sejak Baby Z berusia empat bulan), terasa melelahkan. Sekedar untuk meletakkan PD ke bibirnya yang kehausan pun rasanya melelahkan. Beratnya kedua lengan ini seolah membuat saya merasa mengangkat barbel saat menggerakkan keduanya.

Di tengah situasi seperti itu, tekanan yang saya alami untuk menyapih anak saya masih saya alami. Kalimat-kalimat seperti “Saat seperti inilah yang menyusahkanmu dan orang lain. Sapihlah anakmu!” dan “Andainya anakmu telah disapih, kamu tidak perlu sepayah ini! Ini gara-gara kamu menghentikan susu formulanya dulu!” saya dengar dalam keadaan demam dan menggigil hebat.

Dalam keadaan selemah itu, yang saya katakan hanyalah, “Iya…” karena walaupun otak saya mendidih tidak terima, fisik saya sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi. “Iya apa? Berjanjilah kamu akan menyapih anakmu agar tidak menyusahkan orang lain!”

Saya tidak berjanji. Mungkin Allâh yang menggerakkan hati saya, tapi saya justru menemukan kekuatan untuk membalas ucapan itu.

“Saya akan tetap memerah ASI walaupun seandainya saya harus diopname. Kalau perlu, saya akan membeli pompa ASI lagi,” jawab saya. Sebenarnya saya dulu pernah memiliki dua jenis pompa ASI, namun kenapa keduanya tidak saya gunakan lagi, belum pernah saya bahas di blog ini hehe..

“Tidak masuk akal! Siapa yang kamu tiru? Walaupun anakmu minum susu botol pun dia tidak akan mati! Dia akan tetap hidup dan sehat!” kata suara itu lagi.

“Tapi saya tetap ingin memberinya ASI. Tidakkah keinginan saya juga dihargai walau sedikit saja?”

Perdebatan semacam ini sungguh melelahkan. Sungguh, jika bukan karena daya dan kekuatan dari Allâh selama tiga belas bulan sejak saya berkomitmen memberikan ASI (dua bulan awal saya masih mencampur susu Baby Z dengan sufor), mungkin saya sudah menyerah karena hampir setiap hari mengalami konflik jenis ini.

Tapi saya belum menyerah, walaupun kemarin Baby Z mencicipi minuman M*lo saya, tidak berarti dia akan saya dampingkan dengan minuman itu atau sejenisnya. Tidak.

* * *

Saya tinggalkan narsisisme saya dulu, dan pergi mengunjungi para pejuang ASI lain –selain Dita, yang sebelumnya telah saya sebutkan.

Ibu Anna, sebut saja begitu namanya, adalah tenaga pengajar senior di perguruan tinggi Islam di kota kami. Saya berjumpa dengannya pada Idul Fitri yang lalu. Ketika itu saya berhalangan shalat, sehingga hanya duduk mendengar khutbah sambil menggendong Baby Z.

Tampak bahagia di wajahnya ketika beliau melihat saya menyusui Baby Z. Sesudah Baby Z kenyang, ia menawari anak saya duduk di kursi mungilnya (kursi shalatnya, tepatnya), namun anak saya menolak malu-malu.

“Masih menyusui anaknya ya Dik?” tanya Bu Anna.

“Iya Bu,” jawab saya.

“Sudah berapa lama?”

“Tiga belas bulan, insyâ Allâh menuju empat belas.”

“Cucu saya juga masih menyusu,” ia menunjuk seorang perempuan muda yang menyusui seorang bayi mungil dalam gendongannya. “Yang bayi itu.”

Ia bercerita bagaimana menantunya kurang sabar dalam menyusui cucunya, dan bagaimana ia melarang sang menantu memberi susu formula serta-merta kepada cucunya, sebab, “Di dalam Al Qur’an ada perintah untuk menyusui.”

Tak lama kemudian ia memanggil menantunya, setelah selesai menyusui si bayi yang haus. Ia memperkenalkan saya kepada si menantu secara singkat, dan menyadari bahwa saya menyusui anak saya yang sudah lebih besar dari anaknya, perempuan muda itu tampak agak cemberut.

Mudah-mudahan sekilas wajah cemberut itu hanya perasaan saya saja. Mungkin ia cemberut karena kesal pada mertuanya atau karena cuaca yang kurang nyaman. Mudah-mudahan ia tidak kesal karena berpikir bahwa menyusui itu melelahkan.
Sungguh, dalam hal menyusui, saya ingin bertukar dengannya. Mendapat dukungan seperti itu dari keluarga sendiri, tentulah luar biasa.

Tapi setiap manusia tidaklah diuji melebihi kemampuan masing-masing, bukan? Pasti ada makna di balik ujian yang saya alami dalam upaya saya menyusui Baby Z dengan sempurna.

Setelah bertemu dengan si menantu, saya juga bertemu dengan kolega-kolega Bu Anna di perguruan tinggi. Ternyata beliau memang seorang pendidik sejati–atau setidaknya demikianlah yang saya tangkap dari pembicaraan mereka.

Andai saja semua orang terdidik di Indonesia melek ASI, kebangkitan Islam mungkin dapat segera terwujud. Bayangkan, betapa cemerlang generasi mujahid dan mujahidah kita di masa mendatang…

* * *

Selain Dita dan Bu Anna, saya menjumpai Bu Pinka, seorang pejuang ASI lain di internet. Bu Pinka memiliki anak berkebutuhan khusus–mungkin bisa dibilang sangat khusus. Malangnya, ASI Bu Pinka telah berhenti berproduksi sejak usia anaknya satu bulan, karena si anak diopname di rumah sakit.

Maka Bu Pinka, dengan rekomendasi dokter spesialis anak (yang dari cerita beliau tampaknya sangat pro ASI), mencarikan donor ASI setiap bulannya bagi anaknya yang lemah. Kondisi sang anak sangat tidak ideal dalam mengkonsumsi susu formula, sehingga ASI lagi-lagi menjadi rujukan utama. Maka sang anak, sebut saja Daya, memiliki banyak ibu pesusuan.

Saya sangat ingin menjadi ibu pesusuan Daya. Namun produksi ASI yang sudah menurun, ditambah komitmen memerah yang naik turun, menyebabkan saya tidak bisa memenuhi target saya. Mungkin Allâh memang belum memberikan saya jalan untuk menjadi ibu pesusuan saat ini.

Terakhir kali berkomunikasi dengan Bu Pinka, saya mendapat kabar yang membahagiakan.

“Daya sekarang sudah memiliki ibu pesusuan yang tetap, Mbak. Setiap hari ia mengirimkan hasil perahan ASI-nya untuk Daya, sehingga stok ASI-nya terjamin.”

Semoga amal perempuan mulia itu diterima oleh Allâh, dan semoga kelak Daya bisa sehat dan berbakti kepada para ibundanya, karena sesuai hukum radha’ah, lima kali persusuan yang mengenyangkan membuat sang ibu pesusuan menjadi seperti ibu kandung bagi si bayi, dan saudara pesusuannya pun menjadi mahramnya, sehingga mereka tak dapat menikah kelak.

* * *

Menuliskan kisah Bu Anna dan Bu Pinka membuat saya bersemangat lagi menyusui dan memerah ASI. Mungkinkah memang tulis-menulis adalah hal yang paling bisa membangkitkan mood saya yang mudah berubah? Sepertinya demikian.

“Berjuang lagi”. Itulah kalimat yang sedang berusaha saya tekankan berulang kali kepada diri saya, dan terngiang-ngiang di kepala saya akhir-akhir ini. Betapa tidak, 30 kantong ASIP saya musnah beberapa waktu yang lalu akibat hubungan pendek yang memadamkan kulkas kami dua hari dua malam.

30 kantong itu rata-rata berisi antara 80-100 ml ASI (Alhamdulillaah berkat saran teman saya, sebut saja namanya Anna, saya tidak menyimpan ASIP dalam jumlah di atas 100ml per kantong lagi). Meski tak banyak berarti bagi sebagian ‘mama perah’ yang hasil perah atau pompanya banyak, bagi saya jumlah ASI itu sangat bermakna.

Sebelum kemusnahan itu, saya bertengkar dengan orang yang saya hormati karena beliau membuang ASIP saya begitu saja dari kulkas.

“Apa Anda yang membuang ASIP saya dari kulkas?” tanya saya gemetar. Saya menemukan ASIP yang berjumlah sedikit itu, hanya sekitar 30 ml atau kurang dari itu, telah basi karena dikeluarkan begitu saja.

“Ya,” jawab beliau. “Lalu kenapa? Isinya toh hanya sedikit. Selain itu letaknya bukan di freezer.”

“Karena belum waktunya masuk ke freezer! Walah hasilnya sedikit, saya memerahnya dengan susah payah! Saya memerah malam-malam!“ teriak saya (mungkin seharusnya saya lebih sabar).

“Itu kulkas saya, saya berhak mengeluarkan apa saja yang menurut saya tidak penting.”

Frasa ‘tidak penting’ itu membuat emosi saya kian memuncak.

“Setidaknya, buanglah ASI itu, jangan dibiarkan basi. Ada seorang anak yang membutuhkannya!”

Karena berada di lingkungan yang tidak pro ASI, semua orang di ruangan hanya menatap saya seolah saya gila. Innaa lillaahi wa innaa ilayhi raaji’uun.

Entah saya kualat atau apapun itu namanya, Allaah tetaplah Hakim Yang Maha Adil. Di tengah ketiadaan stok ASIP, pekerjaan yang sangat saya dambakan namun juga menuntut saya untuk berpisah dari Baby Z selama dua bulan, terlepas dari tangan karena kesalahan komunikasi antara saya dan calon pengguna jasa. Sehingga saya tidak perlu panik (setidaknya, tidak terlalu panik) untuk menyetok), sebelum semester baru tiba di tahun ajaran yang tengah berjalan ini. Itu pun jika saya jadi dipekerjakan secara tidak tetap di tempat kerja saya yang lama, salah satu PTN di kota tempat kami tinggal.

Kebutuhan ASIP Baby Z saat ditinggal pun kian berkurang menjadi hanya sekitar 3x selama 8 jam, karena asupan lain telah banyak diterimanya, walau dia masih sulit makan nasi. Mungkin sayalah yang kurang pandai mengkreasikan menu, wallaahu a’lam bish shawab. Yang jelas, butuh kesabaran ekstra agar Baby Z mau makan nasi, dan kesabaran jenis ini biasanya dimiliki oleh kekasih hati saya. Saya masih harus terus belajar. Dibesarkan dengan budaya mau menang sendiri, ternyata Allaah masih mempercayakan seorang anak yang suci kepada saya! Maka artinya saya benar-benar perlu berjuang.

Makna lain dari judul posting ini ada hubungannya dengan status akademis saya. Pada masa-masa sekarang, di saat tesis mangkrak saya akhirnya selesai dengan pas-pasan (maksud saya, kualitas tesis itu pastilah membuat papa saya rahimahullaah kecewa berat seandainya beliau masih hidup), saya merasa bisa mulai menata hidup.

Tak dinyana saya terus berjumpa dengan orang-orang yang memotivasi saya untuk terus memberikan ASI bagi Baby Z tersayang.

Saya akan menceritakan para ksatria perempuan pejuang ASI itu satu per satu. (Bersambung…)

Mbak Adis, saya, Mbak Ajeng

Mbak Adis, saya, Mbak Ajeng

Antara Jakarta dan Malang:
Bagian 1: Menitip ASI Perah (ASIP)

Sedikit menyimpang dari linimasa kisah saya mengASI, saya akan menceritakan pengalaman terbaru saya yang –sejauh ini–paling menarik bagi saya pribadi, setidaknya.

Awalnya adalah lomba resensi yang diadakan oleh Penerbit Mizan, salah satu penerbit buku terkemuka di negeri ini. Buku yang diresensi adalah buku karya Karen Armstrong, Twelve Steps to a Compassionate Life, yang diterjemahkan menjadi Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih. Ms Armstrong ini adalah sejarahwati religi yang menaruh perhatian pada agama-agama samawi (Islam, Kristen/Katolik, dan Judaisme). Tiga pemenang terbaik akan diundang menghadiri gala dinner bersama Ms Armstrong di Jakarta.

Ayah saya yang sedang menjalani kemoterapi mendorong saya untuk mengikuti lomba itu. Maka setelah mengirimkan resensi saya, saya mulai menambah stok ASIP–yang sedianya saya gunakan untuk persiapan menuju acara lain di luar kota–dan membeli cooler bag baru (milik saya yang lama terlalu mencolok) berikut kelengkapannya yaitu ice pack dan botol ASI plastik sebanyak 5 botol.

Sebetulnya saya masih ragu apakah saya bisa memenangkan lomba itu, walaupun saya menggunakan resensi yang dimuat di harian KOMPAS sebagai acuan penulisan resensi saya. Tapi entah kenapa, wallaahu ‘a’lam saya merasa, mungkin Allaah mengabulkan keinginan saya untuk membuat ayah saya bangga.

Ternyata pengumuman pemenangnya cukup mendadak. Saya diumumkan sebagai pemenang. Ayah saya cukup senang mendengar kabar ini, tapi nyaris saja saya membatalkan kehadiran saya. Bayangkan, saya harus sudah tiba di Jakarta pada tanggal 13 Juni 2013 malam, sedangkan saya baru di sms pada tanggal 12 Juni siang.

Alhamdulillaah saya masih memperoleh tiket pesawat dengan harga terjangkau untuk berangkat tanggal 13 Juni pagi dan pulang pada tanggal 14 Juni. Dengan memelas, saya minta pertolongan dari suami, mertua, dan adik-adik saya. Suami membelikan tiket dan menjaga Baby Z, mertua membantu suami menjagakan Baby Z, adik saya yang tinggal di Jaksel menjadi tempat menginap, dan adik saya yang laki-laki meminjamkan uang untuk keadaan darurat (maaf ya Dik…).

Malam hari tanggal 12 Juni, suami mencetakkan peraturan TSA (Transportation Security Administration) yang mengatur mengenai kebolehan membawa ASI di pesawat tanpa batasan jumlah, juga UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan, dan PP No 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif.

Di samping bawaan saya yang sekedarnya, saya mengemas ketiga peraturan itu bersama cooler bag berisi 4 botol ASI plastik (yang 1 lagi tidak muat), 2 ice pack beku, dan 2 ice blue beku. Saya juga sudah membeli kantong ASI bersegel pada saat saya membeli cooler bag itu. Walau biasanya saya menyimpan ASI di dalam plastik es dengan alasan penghematan, saat itu saya bertekad menyimpannya di kantong ASI supaya tulisan ‘breastmilk‘nya bisa dibaca dengan jelas jika cooler bag diperiksa oleh petugas. Semua botol sudah saya sterilkan malam itu dengan cara direbus.

Malam tanggal 12 Juni itu saya meminjam pompa ASI manual milik salah satu sepupu saya, tetapi belum sempat saya mencobanya, hanya saya sterilisasi saja. Pemikiran pinjam pompa itu karena saya dinasehati bahwa memompa itu lebih nyaman jika sedang menghadiri seminar dan sejenisnya, daripada memerah.
Faktanya, bagi saya, tidak demikian. Mungkin karena persiapan yang sangat kurang.

Pagi-pagi tanggal 13 Juni kami bertiga (saya, suami dan Baby Z) berangkat ke rumah mertua membawa semua ‘perlengkapan tempur’, termasuk 2 cooler bag (yang baru dan yang lama–yang terakhir ini tidak saya bawa). Kemudian saya dijemput dengan travel.

Pertama kali saya memerah, adalah di atas travel. Sebenarnya saya ingin memerah nanti siang saja setelah tiba di Jakarta. Lalu PD saya terasa tidak nyaman karena ASI sudah mulai berkumpul. Jadi, awalnya saya membersihkan tangan dan PD lebih dahulu. Kondisi darurat menyebabkan saya hanya membersihkan tangan dengan tissue basah (maafkan saya, Baby Z), padahal biasanya saya menggunakan sabun dan sanitizer. Dengan ditutupi hijab syar’I, kegiatan memompa tidak kentara.

Sayangnya, ternyata pompa itu tidak pas di PD saya sehingga saya berganti memerah ASI dengan teknik Marmet kecintaan saya yang biasa. Tak berapa lama, saya sudah menghasilkan cukup banyak ASI untuk mengakhiri kegiatan memerah pada jam itu.

Tiba di bandara, saya sudah mempersiapkan ketiga cetakan dokumen tadi untuk ditunjukkan di setiap titik pemeriksaan. Tapi alhamdulillaah, mungkin karena bentuk cooler bag saya mirip tas kamera, mereka tidak membukanya sama sekali. Cooler bag saya lolos masuk ke kabin, tanpa hambatan.

Di pesawat, berbekal tissue basah saya membersihkan tangan dan PD di balik hijab, lalu mulai memerah lagi PD saya yang terasa tidak nyaman. Setelah cukup kosong, saya berhenti memerah dan memasukkan botol yang telah terisi ASIP ke dalam cooler bag.

Ibu-ibu di samping saya menanyakan cooler bag saya. Mungkin dia tadi melihat kemunculan ‘tiba-tiba’ botol yang berisi cairan putih kekuningan itu.

“Itu apa sih, Mbak?” tanyanya setelah obrolan basa-basi kami.

“Ini ASI untuk anak saya, Bu,” jawab saya, langsung bersemangat untuk bersosialisASI.

“Oh, bisa dibawa ke mana-mana ya, Mbak?”

“Iya Bu, anak saya kan terpaksa saya tinggal sampai besok, nah dengan ASI ini dan stoknya di rumah, dia bisa tetap minum ASI.”

“Awet berapa lama, mbak?”

Saya pun menjawab, sesuai jawaban admin di twitter @aimi_asi yang saya tanyai, “12-24 jam kalau suhunya stabil, Bu.”

Dan seterusnya, dan seterusnya.

Mungkin saya terlalu banyak bicara, sehingga ibu itu lebih banyak menceritakan kegiatannya berkirim oleh-oleh kepada teman-temannya daripada pengalamannya mengASI. Seharusnya saya lebih banyak belajar.

Kembali membahas ASIP saya. Saya sendiri tidak tahu apakah saya berhasil menjaga kestabilan suhu cooler bag, tapi alhamdulillaah ASIP itu masih awet hingga hari ini di dalam. freezer kami. Mungkin seandainya saya menyimpan botol-botol yang kosong di tempat lain, maka cooler bag akan lebih stabil suhunya karena lebih jarang dibuka setiap kali saya memerah.

Sesampainya di bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, saya menaiki taksi menuju ke gedung tempat gala dinner diadakan, yaitu Wisma Mandiri Thamrin. Sepanjang perjalanan, saya mengontak adik saya yang sedang berada di kantor, meminta izinnya sekali lagi untuk nanti menginap di rumahnya, menitipkan ASIP di kulkasnya, dan mensterilkan ‘peralatan tempur’ ASI saya. Adik saya mengiyakan.

Di Wisma Mandiri, saya menuju ke bagian gedung tempat Bank Syariah Mandiri (BSM) berada. Di lantai satu, masih dengan wajah lelah, saya menghampiri sekuriti dan menyampaikan tujuan kedatangan saya sekaligus permintaan tambahan: menitipkan ASIP. Sebetulnya saya sudah siap berargumen (wah wah…temperamen saya masih perlu meniru kesabaran Nabi Ayyub ‘alayhissalaam), tetapi ternyata saya langsung dirujuk ke lantai 10, 1 lantai dari tempat saya akan menghadiri gala dinner, yaitu di lantai 11.

Di lantai 10, kembali saya menjelaskan tujuan kedatangan saya kepada sekuriti, dan sekaligus menjelaskan bahwa saya akan menitip ASIP. Sekuriti yang ini langsung memberitahu OB yang sedang bertugas, Pak Jalal dan Pak Mahmud. Mereka mempersilakan saya menitipkan ASI di kulkas yang tersedia. (terima kasih banyak ya, Bapak-Bapak…).

Oh iya, di dalam kulkas itu ternyata juga ada ice gel dan sebotol ASIP kaca milik karyawati BSM yang sayangnya tidak sempat saya ajak ngobrol-ngobrol ASI. Maka milik saya dinamai oleh bapak-bapak OB yang baik hati itu supaya tidak tertukar (Jazaakumullaah khoyron katsiir, Bapak-Bapak). Bahkan karena sudah sering menyimpankan ASIP, mereka menawari saya menyimpan di freezer, tapi saya khawatir nanti di jalan malah mencair dan sudah tidak bisa digunakan lagi lepas 24 jam (karena tidak boleh dibekukan lagi), jadi saya menolak dan menyimpan di chiller saja, ice pack nya saja yang masuk ke dalam freezer.

Maka saya bisa menikmati gala dinner (sambil memantau Baby Z di Malang via whatsapp), berbincang super pendek dengan Ms Armstrong (hanya untuk menyapa dan minta tanda tangan), dan memerah lagi setelah PD mulai terasa tidak nyaman lagi.

“Kapan memerahnya, mbak?” tanya salah satu peserta gala dinner, Mbak Adis yang manis (sehat-sehat, mbak?), melihat sebotol ASI muncul dari balik jilbab saya.

“Iya, kalau nggak disusukan kan rasanya nggak nyaman. Bengkak, sakit,” kata Mbak Ajeng (orangnya bijaksana dan sabar kelihatannya ya).

“Saya memerah sudah dari tadi saat kita ngobrol,” jawab saya. Pengalaman memerah ASI di bawah meja saat mengajar tahun 2012 lalu rupanya alhamdulillaah bermanfaat, hanya kali ini perlakuan saya dalam memerah lebih bersih dan saya sudah lebih percaya diri dalam memerah dibandingkan dulu–apalagi, hijab panjang sangat membantu menyembunyikan tangan saya yang sedang ‘berMarmet’.

ASIP kembali saya turunkan ke lantai 10 dengan dimuat di dalam cooler bag, dan saya kembali ke tempat gala dinner.

Pada akhir acara, saya turun ke lantai 10 untuk mengambil ASIP dan mengucapkan terima kasih kepada kedua bapak itu, namun mereka sudah pulang; yang ada hanya beberapa karyawan yang masih bekerja lembur. Saya dan Mbak Tika, reporter MizanMag yang ditugaskan menangani kebawelan para pemenang lomba resensi (jazaakillaahu khoyron katsiir, mbak!) pulang dengan taksi. Berkat panduan Mbak Tika, saya sampai ke rumah adik dengan selamat.

Semua stok ASIP (3 botol berisi sekitar 100 ml) langsung masuk ke kulkas; 2 yang tertua ke dalam freezer, yang muda masuk ke chiller. Ice pack dan ice blue juga saya masukkan ke chiller. Lalu saya memerah lagi dan mendapatkan 200 ml ASI, masing-masing masuk ke botol ASI yang berlainan. ASIP terakhir ini masuk ke chiller pula.

Total hari itu saya mendapatkan ±500 ml ASI, 300ml di antaranya sampai ke Malang dengan selamat (di bagian kedua dari cerita ini). 200 ml masih ada di dalam freezer adik saya karena tidak muat di cooler bag . Yah, wallaahu ‘a’lam nasib kedua kantong itu, terserah adik saya. Agak sedih juga sebenarnya.

Bersambung…

ASIP terakhir sebelum pulang ke Malang

ASIP terakhir sebelum pulang ke Malang

Antara Jakarta-Malang:
Bagian 1: Menitip ASI


Recent Comments