My ASI Story

Posts Tagged ‘pejuang ASI

Setelah tiga hari didera sakit yang sempat membuat saya merasa sangat tidak nyaman, akhirnya di hari keempat saya mulai ‘berfungsi’ kembali. Demam yang hebat disertai pening, nyeri persendian dan batuk yang menyesakkan mungkin adalah suatu ujian dari Allâh azza wa jalla bagi saya, dan semoga dengan kehendak-Nya dapat menjadi penebusan dosa saya.

Ketika terbaring sakit, rasanya untuk menyusui sambil berbaring pun (yang sebenarnya telah saya lakukan setiap hari sejak Baby Z berusia empat bulan), terasa melelahkan. Sekedar untuk meletakkan PD ke bibirnya yang kehausan pun rasanya melelahkan. Beratnya kedua lengan ini seolah membuat saya merasa mengangkat barbel saat menggerakkan keduanya.

Di tengah situasi seperti itu, tekanan yang saya alami untuk menyapih anak saya masih saya alami. Kalimat-kalimat seperti “Saat seperti inilah yang menyusahkanmu dan orang lain. Sapihlah anakmu!” dan “Andainya anakmu telah disapih, kamu tidak perlu sepayah ini! Ini gara-gara kamu menghentikan susu formulanya dulu!” saya dengar dalam keadaan demam dan menggigil hebat.

Dalam keadaan selemah itu, yang saya katakan hanyalah, “Iya…” karena walaupun otak saya mendidih tidak terima, fisik saya sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi. “Iya apa? Berjanjilah kamu akan menyapih anakmu agar tidak menyusahkan orang lain!”

Saya tidak berjanji. Mungkin Allâh yang menggerakkan hati saya, tapi saya justru menemukan kekuatan untuk membalas ucapan itu.

“Saya akan tetap memerah ASI walaupun seandainya saya harus diopname. Kalau perlu, saya akan membeli pompa ASI lagi,” jawab saya. Sebenarnya saya dulu pernah memiliki dua jenis pompa ASI, namun kenapa keduanya tidak saya gunakan lagi, belum pernah saya bahas di blog ini hehe..

“Tidak masuk akal! Siapa yang kamu tiru? Walaupun anakmu minum susu botol pun dia tidak akan mati! Dia akan tetap hidup dan sehat!” kata suara itu lagi.

“Tapi saya tetap ingin memberinya ASI. Tidakkah keinginan saya juga dihargai walau sedikit saja?”

Perdebatan semacam ini sungguh melelahkan. Sungguh, jika bukan karena daya dan kekuatan dari Allâh selama tiga belas bulan sejak saya berkomitmen memberikan ASI (dua bulan awal saya masih mencampur susu Baby Z dengan sufor), mungkin saya sudah menyerah karena hampir setiap hari mengalami konflik jenis ini.

Tapi saya belum menyerah, walaupun kemarin Baby Z mencicipi minuman M*lo saya, tidak berarti dia akan saya dampingkan dengan minuman itu atau sejenisnya. Tidak.

* * *

Saya tinggalkan narsisisme saya dulu, dan pergi mengunjungi para pejuang ASI lain –selain Dita, yang sebelumnya telah saya sebutkan.

Ibu Anna, sebut saja begitu namanya, adalah tenaga pengajar senior di perguruan tinggi Islam di kota kami. Saya berjumpa dengannya pada Idul Fitri yang lalu. Ketika itu saya berhalangan shalat, sehingga hanya duduk mendengar khutbah sambil menggendong Baby Z.

Tampak bahagia di wajahnya ketika beliau melihat saya menyusui Baby Z. Sesudah Baby Z kenyang, ia menawari anak saya duduk di kursi mungilnya (kursi shalatnya, tepatnya), namun anak saya menolak malu-malu.

“Masih menyusui anaknya ya Dik?” tanya Bu Anna.

“Iya Bu,” jawab saya.

“Sudah berapa lama?”

“Tiga belas bulan, insyâ Allâh menuju empat belas.”

“Cucu saya juga masih menyusu,” ia menunjuk seorang perempuan muda yang menyusui seorang bayi mungil dalam gendongannya. “Yang bayi itu.”

Ia bercerita bagaimana menantunya kurang sabar dalam menyusui cucunya, dan bagaimana ia melarang sang menantu memberi susu formula serta-merta kepada cucunya, sebab, “Di dalam Al Qur’an ada perintah untuk menyusui.”

Tak lama kemudian ia memanggil menantunya, setelah selesai menyusui si bayi yang haus. Ia memperkenalkan saya kepada si menantu secara singkat, dan menyadari bahwa saya menyusui anak saya yang sudah lebih besar dari anaknya, perempuan muda itu tampak agak cemberut.

Mudah-mudahan sekilas wajah cemberut itu hanya perasaan saya saja. Mungkin ia cemberut karena kesal pada mertuanya atau karena cuaca yang kurang nyaman. Mudah-mudahan ia tidak kesal karena berpikir bahwa menyusui itu melelahkan.
Sungguh, dalam hal menyusui, saya ingin bertukar dengannya. Mendapat dukungan seperti itu dari keluarga sendiri, tentulah luar biasa.

Tapi setiap manusia tidaklah diuji melebihi kemampuan masing-masing, bukan? Pasti ada makna di balik ujian yang saya alami dalam upaya saya menyusui Baby Z dengan sempurna.

Setelah bertemu dengan si menantu, saya juga bertemu dengan kolega-kolega Bu Anna di perguruan tinggi. Ternyata beliau memang seorang pendidik sejati–atau setidaknya demikianlah yang saya tangkap dari pembicaraan mereka.

Andai saja semua orang terdidik di Indonesia melek ASI, kebangkitan Islam mungkin dapat segera terwujud. Bayangkan, betapa cemerlang generasi mujahid dan mujahidah kita di masa mendatang…

* * *

Selain Dita dan Bu Anna, saya menjumpai Bu Pinka, seorang pejuang ASI lain di internet. Bu Pinka memiliki anak berkebutuhan khusus–mungkin bisa dibilang sangat khusus. Malangnya, ASI Bu Pinka telah berhenti berproduksi sejak usia anaknya satu bulan, karena si anak diopname di rumah sakit.

Maka Bu Pinka, dengan rekomendasi dokter spesialis anak (yang dari cerita beliau tampaknya sangat pro ASI), mencarikan donor ASI setiap bulannya bagi anaknya yang lemah. Kondisi sang anak sangat tidak ideal dalam mengkonsumsi susu formula, sehingga ASI lagi-lagi menjadi rujukan utama. Maka sang anak, sebut saja Daya, memiliki banyak ibu pesusuan.

Saya sangat ingin menjadi ibu pesusuan Daya. Namun produksi ASI yang sudah menurun, ditambah komitmen memerah yang naik turun, menyebabkan saya tidak bisa memenuhi target saya. Mungkin Allâh memang belum memberikan saya jalan untuk menjadi ibu pesusuan saat ini.

Terakhir kali berkomunikasi dengan Bu Pinka, saya mendapat kabar yang membahagiakan.

“Daya sekarang sudah memiliki ibu pesusuan yang tetap, Mbak. Setiap hari ia mengirimkan hasil perahan ASI-nya untuk Daya, sehingga stok ASI-nya terjamin.”

Semoga amal perempuan mulia itu diterima oleh Allâh, dan semoga kelak Daya bisa sehat dan berbakti kepada para ibundanya, karena sesuai hukum radha’ah, lima kali persusuan yang mengenyangkan membuat sang ibu pesusuan menjadi seperti ibu kandung bagi si bayi, dan saudara pesusuannya pun menjadi mahramnya, sehingga mereka tak dapat menikah kelak.

* * *

Menuliskan kisah Bu Anna dan Bu Pinka membuat saya bersemangat lagi menyusui dan memerah ASI. Mungkinkah memang tulis-menulis adalah hal yang paling bisa membangkitkan mood saya yang mudah berubah? Sepertinya demikian.

Melanjutkan kisah saya tentang para ksatria ASI (dalam istilah yang lebih umum digunakan di komunitas ibu menyusui, mereka yang hebat-hebat ini disebut dengan ‘pejuang ASI ‘), terlebih dahulu saya ingin berbagi galau sedikit. Bukan, lebih tepatnya saya ingin berbagi cerita yang bisa menjadi pembelajaran bagi para ibu atau calon ibu yang lain.

Baru-baru ini (dalam artian, akhir bulan Agustus 2013), Baby Z terdeteksi mengalami kelainan jantung bawaan yang disebut dengan istilah Atrial Septal Defect (ASD). ASD adalah kelainan bilik atas jantung, yaitu terjadinya pemintasan darah dari bilik kiri ke kanan, akibat adanya lubang yang seharusnya tertutup ketika bayi lahir. Pada kasus-kasus ASD, lubang ini tetap terbuka. Walau demikian, Alhamdulillaah, ASD yang dialami Baby Z memiliki tingkatan ringan, yaitu diameter lubangnya hanya antara 4-6 mm, dan diharapkan dapat menutup seiring pertambahan usianya.

Walau begitu, kesedihan yang saya dan suami saya alami cukup traumatis. Ketika dokter spesialis anak (dsa) kami, sebut saja Dr Nusa, mengatakan bahwa Baby Z memerlukan pemotretan thorax (dada) dengan sinar X, kami terpukul. Apalagi ketika ia merujuk Baby Z kepada spesialis jantung anak, sebut saja Dr Rinjani. Tak terbayang oleh kami bahwa kami harus melihat anak kami menjalani pemeriksaan Echochardiography (Echo) dalam keadaan tidur oleh obat tidur. Namun qadarullaah, itulah yang terjadi.

Pelajaran berharga juga kami dapatkan. Dr Rinjani menegur kami yang kerap bergonta-ganti dokter (kebiasaan lama saya dan suami yang belum juga sembuh sejak masa kehamilan). Akibat dari kelalaian kami selama ini, bising jantung Baby Z tidak terdeteksi, dan catatan medisnya pun tidak keruan. Alhamdulillaah, lagi-lagi Allaah masih mengingatkan kami melalui orang-orang yang peduli akan kesehatan Zayd, seperti para dokter ini.

Kelainan ini telah dialami Baby Z sejak masih berada dalam kandungan. Asap rokok, pengawet dalam makanan, stress yang tinggi, konon menjadi pemicu dari kelainan ini.

“Tidak semua dokter teliti mendengar bising jantung,” kata Dokter Rinjani. “Ada yang kurang teliti, terutama jika bisingnya lemah.”

Dalam keadaan kalut, saya makin bingung oleh istilah medis yang asing itu.

Bising jantung? Apa itu? pikir saya. Usut punya usut (dari mesin pencari, tentunya), ternyata bising jantung alias heart murmur adalah suara aliran darah yang ‘memintas’ itu, yang seharusnya tidak ada jika bilik jantung Baby Z tidak berlubang.

“Seharusnya Anda jangan shopping dokter, apalagi dengan alasan jam praktik yang kurang pas bagi Anda, lokasi praktik, dan tidak diantar oleh suami,” kata dokter itu lagi.

Saat itu saya yang pemarah ini tersinggung. Kata-kata sang dokter senior menohok saya. Begitu tidak mandirinyakah saya di mata dokter itu? Apakah karena jilbab saya yang besar ini, sehingga dia menafikan kemandirian saya?

Lalu saya buang prasangka buruk saya terhadap sang dokter jauh-jauh, juga kesombongan saya. Merasa shalihahkah saya selama ini? Merasa sudah hebat? Mungkin ini memang teguran dari Allaah kepada saya, melalui dokter itu; agar saya lebih memperhatikan anak saya dan lebih rendah hati.

“Iya Dok,” ucap saya walau pahit terasa di bibir. “Terima kasih banyak atas perhatian Dokter, alhamdulillaah kami dipertemukan oleh Allaah dengan dokter.”

Apapun, kami mencoba melihat sisi positif dari ujian ini yaitu sebagai jawaban dari doa kami agar Allaah menjadikan kami sabar dan kuat.

* * *

Kembali ke para ksatria ASI. Saya yakin mereka pun telah mengalami berbagai ujian berupa nikmat maupun musibah, tidak hanya dalam hal ASI, walau terutama memang dalam persoalan cairan putih kekuningan yang luar biasa itu.

Salah satu ksatria ASI yang menginspirasi saya adalah ibu yang satu ini.

Sebut saja namanya Dita. Dita adalah teman lama saya, dan qadarullaah kami menikah di tahun yang sama dan anak kami juga sebaya. Bekerja di ibu kota, Dita memutuskan keluar dari pekerjaannya dan membesarkan bayinya yang cantik di kota kami.

Tinggal serumah dengan orangtua, terpisah dari suami, dan mungkin kurangnya informasi turut andil dalam menyulitkan Dita memberikan ASI secara ajeg.

“Suamiku tidak tega mendengar anak kami menangis, jadi kami memberinya susu formula. Kami khawatir dia kelaparan,” kata Dita dalam pesan teksnya kepada saya.

Sejujurnya, saya merasa bahwa peran suami sangat vital dalam komitmen istrinya memberikan ASI. Namun sosialisasi mengenai hal ini memang masih kurang.

Perspektif bahwa ‘urusan mengasuh anak (termasuk memberikan ASI) adalah urusan perempuan’ masih mendominasi pola asuh di keluarga-keluarga kita. Padahal, kalau kita ingat kembali di masa Rasulullaah shallallaahuu ‘alaihi wasallaam, ketika urusan ibu persusuan sangat penting, pastilah pemilihan ibu persusuan melibatkan semua orang dalam keluarga si bayi; tidak melulu ibu si bayi saja. Tidak hanya itu, masalah komitmen ASI juga ada di dalam Al Qur’an, dan jelas disebutkan bahwa kerelaan di antara kedua orangtua mengenai penyusuan dan penyapihan harus ada dalam penentuan batas waktu keduanya. Dari kedua ilustrasi itu, bisa saya simpulkan sendiri dengan keawaman saya bahwa komunikasi yang baik antara kedua orangtua sangat berperan dalam hubungan menyusui yang baik antara seorang ibu dengan bayinya. Jika dirunut dari sosiologi, pergeseran peran keluarga besar di luar orangtua akibat modernisasi, juga berperan dalam berkurangnya dukungan terhadap ibu menyusui. Maka timbullah solusi-solusi praktis namun kurang sehat semacam pemberian susu formula, sebagai simbol modernisasi itu sendiri.

Singkat kata singkat cerita, Dita harus pergi meninggalkan bayinya selama 10 hari untuk menyelesaikan urusan pengunduran dirinya dari kantor. 10 hari berlalu, dan Dita kembali. Mimpi buruknya menjadi kenyataan: anaknya menolak menyusu.

Saya ikut panik dan stress. Sungguh, selama menyusui Baby Z, saya pernah dua kali mengalami ditolak, dan rasa sedihnya belum bisa terlupakan. Bibir kecilnya yang menjauh dari pelukan saya memilukan saya melebihi apapun. Dalam satu episode semacam ini, yang disebut dengan istilah nursing strike atau nipple strike alias mogok menyusu, saya tertekan oleh label ‘ibu sinting’ yang dicapkan oleh keluarga karena saya menolak memberikan susu formula dan memilih menenangkan diri dulu sambil membaringkan Baby Z di tempat tidur. Perasaan tak berdaya dan tak berguna melanda–perasaan yang mungkin akan menenggelamkan saya jika tidak ada support dari AIMI Jawa Timur yang saat itu menjadi acuan saya sepanjang waktu dengan sms-sms saya yang pastilah mengganggu.

Maka dengan berlandaskan ingatan akan episode-episode kelam itu, saya mencoba apapun, semampu saya, supaya bayi Dita kembali mau menyusu. Namun qadarullaah, ia tetap menolak.

“Tetaplah memompa ASImu,” saya berusaha membesarkan hati Dita yang terluka. Alhamdulillaah, Dita memang telah memiliki pompa ASI dan cukup rajin memompa ASI-nya setiap hari sebelum ‘musibah’ itu melandanya. Dibilang musibah, mungkin ada benarnya bagi setiap ibu menyusui mana pun, wallaahu a’lam.

Berbagai jalan telah ditempuh dan anak Dita tetap tidak mau menyusu kembali. Hingga hari ini Dita masih memompakan ASI-nya untuk anaknya. Walau tak bisa memberikan ASI-nya secara total, tiada hari tanpa ASI bagi anaknya. Bahkan, kini Dita telah bisa memerah ASI dengan tangan menggunakan teknik Marmet.

“Rasanya lebih nyaman daripada memompa. Memompa membuatku nyeri,” kata Dita kepada saya.

“Pendapat setiap orang berbeda,” komentar saya.

Memang benar. Saya memiliki dua orang teman yang menyusui dan memompa ASI-nya. Keduanya lebih menyukai pompa dibandingkan perah tangan; yang satu memilih pompa manual, yang lain menjagokan pompa elektrik. Keduanya merasa nyaman dengan pompa-pompa ASI mereka masing-masing. Saya pribadi menganggap mereka hebat, karena saya sudah mencoba tiga jenis pompa berbeda dan belum merasakan kenyamanan yang konon dirasakan oleh para ibu menyusui yang lain (kisah petualangan ketiga pompa ini akan saya paparkan jika saya sempat–dan jika tidak terlupa).

Kegigihan Dita bagi saya luar biasa. Belum tentu saya dapat bertahan menghadapi penolakan menyusu sepertinya dan masih bertahan menjadi ibu yang memompa (pumping mom) maupun memerah. Setiap kali saya bertemu dengannya, saya teringat para ibu pemompa lain yang juga gigih. Memang setiap ibu menyusui memiliki ‘porsi’ ujian masing-masing.

Beragamnya jenis ujian Allaah atas diri ibu menyusui menegaskan kepada saya bahwa setiap ibu adalah individu yang berbeda. Semakin lama saya mencamkan fakta ini, terasa semakin menakjubkan. Allaah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.

(Bersambung…)


Recent Comments